Rabu, 13 Februari 2013

Kepompong Kecil Milik Bunda



Sebut saja namanya Aisha, gadis kecil yg masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar, sedang meyeruput es yg baru ia beli di kantin. Dengan jilbab yg mencong ke kiri dan sepatu hitamnya, ia  menyusuri arah jalan pulang. Aisha sedang menggerutu kesal
"Huh, minta tolong... dia saja suka pilih-pilih teman, pun saat aku minta tolong saat itu dia tidak mau membantu. Bahkan berteman denganku saja ia tak mau…" gerutunya kesal dan cemberut sambil menendang-nendang bebatuan dihadapannya.
Angin siang itu begitu kencang, mengibaskan jilbab yg dikenakannya. Makin mencong saja jilbab itu. dan makin jeleklah raut wajahnya. Hatinya berkecamuk menentukan pilihan yang sulit.
 "Bantu… nggak-bantu-nggak… Haduh tapi kata bunda klo kita menolong orang, hidup kita akan selalu dimudahkan Allah".
Rasa emosi yang diperdaya dan dibisiki oleh setan membuat ia tanpa sadar lupa membaca doa. Memang terkadang hal kecil yg berarti besar sangat mudah dilupakan seseorang. Begitu sesampainya di rumah, bunda mendapati buah cintanya yang pulang dgn raut wajah kusut dan ditekuk. Lalu bunda menyapanya dgn hangat.
"Eh… Humaira, sudah pulang." Begitulah sapaan akrab bunda padanya. Panggilan itu berarti (yang pipinya kemerah-merahan). Nama ini merupakan panggilan Nabi Muhammad SAW kepada istrinya, Aisyah R.A.
"Kok pulang kesal begitu. Ada apa tadi di sekolah?" tanya bunda sambil memegang lengan Aisha yg menyalaminya. Dengan lembut bunda mengusap ubun-ubun Aisha, seraya mengangkat dagunya yg tertekuk. Seketika ada rasa hangat dan nyaman berdesir di hati Aisha.
"Nggak, ga ada apa-apa kok bun.." bohong Aisha pada bunda.
"Yakin...? Aisha ciyus, miapah?" goda bunda pada gadis kecilnya.
"Ah,bunda... kayak anak alay". ujar Aisha, merajuk manja di dekapan bunda yg sedang memangkunya.
"Bunda... aisha mau tanya..." tanya aisha ragu.
"Emm. Bunda ga mau jawab".  goda bunda lagi sambil tersenyum nakal ke arah putrinya.
"Ahh... bunda... jail…" cubitan kecil Aisha mendarat di hidung bundanya sehingga menimbulkan bercak merah di hidung putihnya.
"Bunda.. kalau ada yang..." pertanyaan itu menggantung di sudut bibir Aisha. Ketukan tiga kali di depan rumahnya membuatnya tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Bunda menurunkan Aisha dari pangkuannya seraya berkata "Sebentar ya sayang..."
"Ishh, siapa sih? Ganggu aku sama bunda aja!" ketukan pintu itu membuat Aisha geram dan mengepalkan tangannya ke udara.
Aisha mengintip dari balik ruang tengah. Bibirnya tertarik ke atas sehingga membentuk sudut asimetris.
Meskipun sedang kesal, wajahnya tetap imut bila sedang marah. "Itu kan… tetangga yg suka menggunjing bunda. Mau ngapain dia menginjakkan kakinya disini? Ishhh. Bikin aku sebel aja."
Aisha mencuri dengar dengan seksama. Kedua tangannya terlipat di dada dan berkali-kali ia menghentakkan kakinya ke lantai dan berkata: "Duh, pinjam uang lagi. Gak tahu malu… dasar muka tembok.” entah didapat dari mana kata-kata tersebut.
Ia lalu mendengus kesal saat melihat bundanya berlari kecil ke arah kamar dan kembali ke depan dengan sepucuk amplop di tangan. Setelah selesai memberikan amplop itu, bundanya lantas kembali memandang putrinya yang masih berdiri mematung di sudut ruangan tengah. Dengan tangan yang masih lelah sehabis mencuci pakaian, bunda menggendong putrinya kecilnya tinggi-tinggi.
"Ayo... tadi mau tanya apa?" tanyanya demikian.
"Emm. Sebelumnya aku mau tanya. Kok bunda mau sih nolong orang yg udah..."
Bundanya tersenyum dan menghela nafas berat kala menggendong matryoshka kecilnya. Udara siang ini terasa sangat sejuk. Hanya awan mendung yang memayungi tanpa basuh hujan. Sekawanan burung gereja hinggap di atap rumah, mematuk-matukkan paruhnya ke atas genteng.
"Masih ingat cerita tentang Rasulullah yang dihina, dicaci, diludahi, bahkan dilempari kotoran oleh seseorang ketika Rasulullah melintasi jalan ke masjid? Bunda balik bertanya mencoba membangun ingatan tentang cerita yang pernah ia ceritakan kepad Aisha.
"Umm… iya masih inget." Aisha mengangguk mantap.
"Bahkan malaikat Jibril saja muntap atas penghinaan yang dilakukan orang tersebut." lanjutnya.
"Apakah nabi dendam pada orang itu?" Pertanyaan bunda dibalas dengan gelengan kepala Aisha.
"Nah. sekarang sudah paham kan kenapa bunda berlaku demikian terhadap tetangga kita tadi?" lagi-lagi Aisha tak menjawab dengan kata. Hanya anggukan kepalanya mengisyaratkan tanda ia mengerti.
"Bahwa kita… tidak boleh menaruh dendam pada seseorang. Meskipun orang tersebut telah berbuat jahat pada kita." ucapnya dgn suara cadel dan senyum yang memaksa. Memamerkan gigi depan yang ompong dua bersisian. Isi kepalanya masih bingung menerima hal yang sulit dicerna seorang anak berumur 7 tahun. Mengapa perlakuan buruk seseorang harus dibalas dengan kebaikan. Tanpa pikir panjang seketika pikirannya berkelebat pada sebuah rentetan kalimat dibuku cerita yg pernah ia baca. Buku tersebut merupakan hadiah terakhir dari sosok Ayah yang tidak akan pernah ia lihat lagi selama-lamanya. Ayah yang selalu mengimami Aisha ketika ia baru mulai belajar sholat.
Kutipan buku tersebut bersisi: Memberilah sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.
Eh tapi kutipan ini ada kaitannya tidak ya dengan apa yg dilakukan bunda tadi? relung hatinya menimbulkan tanda tanya dalam. Lalu ia serap apa saja yg mampu diterima olehnya. Kemudian ia menyimpulkan. Emm, mungkin kita harus menolong orang semampunya, bahkan sebanyak-banyaknya. Tidak peduli sejahat apapun orang tersebut. gumamnya dalam hati.
Aisha masih melamun, tercenung mengolah dan menghubungkan kejadian tadi ke dalam cerita nabi dan juga buku yang pernah ia baca.
"Lho... kok bengong? Terus tadi mau tanya apa? lanjutnya kembali.
"Oh. gak jadi bunda. Pertanyaan yang mau ditanyakan sudah terjawab." jawab Aisha sambil menyunggingkan senyum.
Jawaban Aisha disambut dengan kebingungan di raut wajah bunda. Akan tetapi hatinya yakin bahwa putrinya sedang belajar sesuatu yang berharga. Mencerna sesuatu yg mungkin sangat sulit diterima olehnya. Oleh seorang anak yang masih sering menelusukkan ibu jarinya ke dalam mulut. Kelak ia yakin, hal ini akan sangat berguna di kehidupannya mendatang. Agar lebih  mengerti arti berbagi, memberi tanpa harus dipinta terlebih dahulu, tidak menaruh dendam, dan belajar mengikhlaskan sesuatu.
Hari berikutnya…
Senja menjelang dalam rindang rimbunan pepohonan yang menyembul dibalik celah dedaunan. Kicauan burung yang hinggap di atasnya menambah suasana asri di depan bangunan rumah sederhana. Aisha sedang asyik bermain dengan sekawanan kupu-kupu warna-warni di halaman rumahnya. Ia berlari-lari kecil mencoba menangkap salah satu kupu-kupu yang berterbangan yang berwarna kuning keemasan. Namun perhatiannya beralih pada kepompong yang bergantung di ranting pohon. Aisha berfikir bahwa mahluk di dalamnya sedang beristirahat dengan tenang. Ia tidak tahu bahwa di dalam kepompong tersebut terjadi proses perubahan antara ulat menjadi kupu-kupu. Kepompong ini seperti rahim tempat bayi berkembang sempurna dan akhirnya siap dilahirkan. Ketika sedang asyik memperhatikan kepompong tersebut, Aisha dikejutkan oleh kedatangan Kiera yang sudah tiba di depan pintu rumahnya. Beberapa lama kemudian…
Bunda melihat Aisha sedang meminjamkan sepasang sepatu pada temannya. Bunda menghampiri keduanya dan Aisha menoleh ke hadapan bunda.
"Bunda, boleh ya sepatunya dipinjam untuk Kiera. Soalnya sepatunya dia basah karena banjir..."
Kiera yg berdiri di depan pintu dengan malu dan sedikit manja melenguh mencoba merangkai  kata.
"Maaf ya Aisha, klo aku suka ga mau temenan atau main sama kamu… tapi ternyata kamu malah baik sama aku. Kan aku udah..." nada suara Kiera terdengar melemah dan menyesal.
Bunda memotong kalimat Kiera sambil menyibak poni yang menggayut jatuh menutupi sebelah mata Kiera.  
"Oh… iya gak apa-apa sayang. Sudah diterima aja ya sayang…" ujar bunda lembut menyeka poni Kiera yang berjatuhan lalu turun mengelus pipinya yang chubby menggemaskan.
Kiera segera pamit setelah mendapat apa yang ia butuhkan. Bunda tersenyum bangga pada putrinya. Jadi hal ini yang ingin ditanyakannya kemarin. Dan hal ini pula yang membuatnya pulang sekolah dgn berwajah muram. Namun hari ini berubah menjadi sebuah ketulusan nan lega yang terlukis dalam air muka Aisha yang mungil. Tak ada lagi wajah yang terlipat seperti dompet tanggung bulan. Hari ini ia belajar sesuatu yang sangat berharga. Tentang keikhlasan dan ketulusan yang mungkin orang dewasa pun acap kali alpa akan hal ini. Mereka orang dewasa yang cendrung menuruti ego yang terpendam. Membalas sebuah perlakuan buruk dengan sesuatu yang jauh lebih setimpal lagi, lebih dari apa yang pernah dilakukan oleh orang tersebut terhadapnya. Aisha layaknya kepompong kecil yang sedang tumbuh berkembang dalam dekapan hangat bunda. Untuk dapat mengepakkan sayapnya dengan bebas ia perlu belajar sesuatu. Sebelum mencapai atau menjadi seseorang yang mulia di hadapan Allah, dirinya harus melalui serangkaian pemahaman kecil yang cukup berat di usianya yang terbilang masih cukup kecil.
Aisha kembali berlari-lari mengejar kupu-kupu menggemaskan yang sedang rehat di hamparan sajadah rerumputan hijau. Tangan kecilnya terentang ke depan, menggapai kupu-kupu yang tak kunjung ia dapat. Larinya makin kencang, begitu semangatnya ia berlari sehingga tersandung sebuah batu.
“Bunda aku jatuh…” Aisha langsung terisak. Hidungnya kembang kempis memerah.
“Kayak ada yang panggil bunda, tapi kok orangnya gak ada…” bunda celingak-celinguk.
“Bundaaaaa…” teriak Aisha makin kencang lagi dalam isaknya.

Life is about forgiving
Life is about sincerity
Life is about giving…
without hoping something in return
only pursuit of Allah’s pleasure (keridhoan Allah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar