Sebut
saja namanya Aisha, gadis kecil yg masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar, sedang
meyeruput es yg baru ia beli di kantin. Dengan jilbab yg mencong ke kiri dan
sepatu hitamnya, ia menyusuri arah jalan
pulang. Aisha sedang menggerutu kesal
"Huh,
minta tolong... dia saja suka pilih-pilih teman, pun saat aku minta tolong saat
itu dia tidak mau membantu. Bahkan berteman denganku saja ia tak mau…"
gerutunya kesal dan cemberut sambil menendang-nendang bebatuan dihadapannya.
Angin
siang itu begitu kencang, mengibaskan jilbab yg dikenakannya. Makin mencong
saja jilbab itu. dan makin jeleklah raut wajahnya. Hatinya berkecamuk
menentukan pilihan yang sulit.
"Bantu… nggak-bantu-nggak… Haduh tapi
kata bunda klo kita menolong orang, hidup kita akan selalu dimudahkan
Allah".
Rasa
emosi yang diperdaya dan dibisiki oleh setan membuat ia tanpa sadar lupa
membaca doa. Memang terkadang hal kecil yg berarti besar sangat mudah dilupakan
seseorang. Begitu sesampainya di rumah, bunda mendapati buah cintanya yang pulang
dgn raut wajah kusut dan ditekuk. Lalu bunda menyapanya dgn hangat.
"Eh…
Humaira, sudah pulang." Begitulah sapaan akrab bunda padanya. Panggilan
itu berarti (yang pipinya kemerah-merahan). Nama ini merupakan panggilan Nabi
Muhammad SAW kepada istrinya, Aisyah R.A.
"Kok
pulang kesal begitu. Ada apa tadi di sekolah?" tanya bunda sambil memegang
lengan Aisha yg menyalaminya. Dengan lembut bunda mengusap ubun-ubun Aisha,
seraya mengangkat dagunya yg tertekuk. Seketika ada rasa hangat dan nyaman
berdesir di hati Aisha.
"Nggak,
ga ada apa-apa kok bun.." bohong Aisha pada bunda.
"Yakin...?
Aisha ciyus, miapah?" goda bunda pada gadis kecilnya.
"Ah,bunda...
kayak anak alay". ujar Aisha, merajuk manja di dekapan bunda yg sedang
memangkunya.
"Bunda...
aisha mau tanya..." tanya aisha ragu.
"Emm.
Bunda ga mau jawab". goda bunda
lagi sambil tersenyum nakal ke arah putrinya.
"Ahh...
bunda... jail…" cubitan kecil Aisha mendarat di hidung bundanya sehingga
menimbulkan bercak merah di hidung putihnya.
"Bunda..
kalau ada yang..." pertanyaan itu menggantung di sudut bibir Aisha. Ketukan
tiga kali di depan rumahnya membuatnya tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Bunda
menurunkan Aisha dari pangkuannya seraya berkata "Sebentar ya
sayang..."
"Ishh,
siapa sih? Ganggu aku sama bunda aja!" ketukan pintu itu membuat Aisha
geram dan mengepalkan tangannya ke udara.
Aisha
mengintip dari balik ruang tengah. Bibirnya tertarik ke atas sehingga membentuk
sudut asimetris.
Meskipun
sedang kesal, wajahnya tetap imut bila sedang marah. "Itu kan… tetangga yg
suka menggunjing bunda. Mau ngapain dia menginjakkan kakinya disini? Ishhh.
Bikin aku sebel aja."
Aisha
mencuri dengar dengan seksama. Kedua tangannya terlipat di dada dan
berkali-kali ia menghentakkan kakinya ke lantai dan berkata: "Duh, pinjam
uang lagi. Gak tahu malu… dasar muka tembok.” entah didapat dari mana kata-kata
tersebut.
Ia
lalu mendengus kesal saat melihat bundanya berlari kecil ke arah kamar dan
kembali ke depan dengan sepucuk amplop di tangan. Setelah selesai memberikan amplop
itu, bundanya lantas kembali memandang putrinya yang masih berdiri mematung di
sudut ruangan tengah. Dengan tangan yang masih lelah sehabis mencuci pakaian, bunda
menggendong putrinya kecilnya tinggi-tinggi.
"Ayo...
tadi mau tanya apa?" tanyanya demikian.
"Emm.
Sebelumnya aku mau tanya. Kok bunda mau sih nolong orang yg udah..."
Bundanya
tersenyum dan menghela nafas berat kala menggendong matryoshka kecilnya. Udara
siang ini terasa sangat sejuk. Hanya awan mendung yang memayungi tanpa basuh
hujan. Sekawanan burung gereja hinggap di atap rumah, mematuk-matukkan paruhnya
ke atas genteng.
"Masih
ingat cerita tentang Rasulullah yang dihina, dicaci, diludahi, bahkan dilempari
kotoran oleh seseorang ketika Rasulullah melintasi jalan ke masjid? Bunda balik
bertanya mencoba membangun ingatan tentang cerita yang pernah ia ceritakan kepad
Aisha.
"Umm…
iya masih inget." Aisha mengangguk mantap.
"Bahkan
malaikat Jibril saja muntap atas penghinaan yang dilakukan orang tersebut."
lanjutnya.
"Apakah
nabi dendam pada orang itu?" Pertanyaan bunda dibalas dengan gelengan
kepala Aisha.
"Nah.
sekarang sudah paham kan kenapa bunda berlaku demikian terhadap tetangga kita
tadi?" lagi-lagi Aisha tak menjawab dengan kata. Hanya anggukan kepalanya
mengisyaratkan tanda ia mengerti.
"Bahwa
kita… tidak boleh menaruh dendam pada seseorang. Meskipun orang tersebut telah
berbuat jahat pada kita." ucapnya dgn suara cadel dan senyum yang memaksa.
Memamerkan gigi depan yang ompong dua bersisian. Isi kepalanya masih bingung
menerima hal yang sulit dicerna seorang anak berumur 7 tahun. Mengapa perlakuan
buruk seseorang harus dibalas dengan kebaikan. Tanpa pikir panjang seketika
pikirannya berkelebat pada sebuah rentetan kalimat dibuku cerita yg pernah ia
baca. Buku tersebut merupakan hadiah terakhir dari sosok Ayah yang tidak akan
pernah ia lihat lagi selama-lamanya. Ayah yang selalu mengimami Aisha ketika ia
baru mulai belajar sholat.
Kutipan
buku tersebut bersisi: Memberilah sebanyak-banyaknya, bukan
menerima sebanyak-banyaknya.
Eh
tapi kutipan ini ada kaitannya tidak ya dengan apa yg dilakukan bunda tadi?
relung hatinya menimbulkan tanda tanya dalam. Lalu ia serap apa saja yg mampu
diterima olehnya. Kemudian ia menyimpulkan. Emm, mungkin kita harus menolong
orang semampunya, bahkan sebanyak-banyaknya. Tidak peduli sejahat apapun orang
tersebut. gumamnya dalam hati.
Aisha
masih melamun, tercenung mengolah dan menghubungkan kejadian tadi ke dalam
cerita nabi dan juga buku yang pernah ia baca.
"Lho...
kok bengong? Terus tadi mau tanya apa? lanjutnya kembali.
"Oh.
gak jadi bunda. Pertanyaan yang mau ditanyakan sudah terjawab." jawab
Aisha sambil menyunggingkan senyum.
Jawaban
Aisha disambut dengan kebingungan di raut wajah bunda. Akan tetapi hatinya
yakin bahwa putrinya sedang belajar sesuatu yang berharga. Mencerna sesuatu yg
mungkin sangat sulit diterima olehnya. Oleh seorang anak yang masih sering
menelusukkan ibu jarinya ke dalam mulut. Kelak ia yakin, hal ini akan sangat
berguna di kehidupannya mendatang. Agar lebih
mengerti arti berbagi, memberi tanpa harus dipinta terlebih dahulu,
tidak menaruh dendam, dan belajar mengikhlaskan sesuatu.
Hari
berikutnya…
Senja
menjelang dalam rindang rimbunan pepohonan yang menyembul dibalik celah
dedaunan. Kicauan burung yang hinggap di atasnya menambah suasana asri di depan
bangunan rumah sederhana. Aisha sedang asyik bermain dengan sekawanan kupu-kupu
warna-warni di halaman rumahnya. Ia berlari-lari kecil mencoba menangkap salah
satu kupu-kupu yang berterbangan yang berwarna kuning keemasan. Namun
perhatiannya beralih pada kepompong yang bergantung di ranting pohon. Aisha
berfikir bahwa mahluk di dalamnya sedang beristirahat dengan tenang. Ia tidak
tahu bahwa di dalam kepompong tersebut terjadi proses perubahan antara ulat
menjadi kupu-kupu. Kepompong ini seperti rahim tempat bayi berkembang sempurna
dan akhirnya siap dilahirkan. Ketika sedang asyik memperhatikan kepompong
tersebut, Aisha dikejutkan oleh kedatangan Kiera yang sudah tiba di depan pintu
rumahnya. Beberapa lama kemudian…
Bunda
melihat Aisha sedang meminjamkan sepasang sepatu pada temannya. Bunda
menghampiri keduanya dan Aisha menoleh ke hadapan bunda.
"Bunda,
boleh ya sepatunya dipinjam untuk Kiera. Soalnya sepatunya dia basah karena
banjir..."
Kiera
yg berdiri di depan pintu dengan malu dan sedikit manja melenguh mencoba
merangkai kata.
"Maaf
ya Aisha, klo aku suka ga mau temenan atau main sama kamu… tapi ternyata kamu malah
baik sama aku. Kan aku udah..." nada suara Kiera terdengar melemah dan
menyesal.
Bunda
memotong kalimat Kiera sambil menyibak poni yang menggayut jatuh menutupi sebelah
mata Kiera.
"Oh…
iya gak apa-apa sayang. Sudah diterima aja ya sayang…" ujar bunda lembut
menyeka poni Kiera yang berjatuhan lalu turun mengelus pipinya yang chubby
menggemaskan.
Kiera
segera pamit setelah mendapat apa yang ia butuhkan. Bunda tersenyum bangga pada
putrinya. Jadi hal ini yang ingin ditanyakannya kemarin. Dan hal ini pula yang membuatnya
pulang sekolah dgn berwajah muram. Namun hari ini berubah menjadi sebuah
ketulusan nan lega yang terlukis dalam air muka Aisha yang mungil. Tak ada lagi
wajah yang terlipat seperti dompet tanggung bulan. Hari ini ia belajar sesuatu
yang sangat berharga. Tentang keikhlasan dan ketulusan yang mungkin orang
dewasa pun acap kali alpa akan hal ini. Mereka orang dewasa yang cendrung
menuruti ego yang terpendam. Membalas sebuah perlakuan buruk dengan sesuatu
yang jauh lebih setimpal lagi, lebih dari apa yang pernah dilakukan oleh orang
tersebut terhadapnya. Aisha layaknya kepompong kecil yang sedang tumbuh
berkembang dalam dekapan hangat bunda. Untuk dapat mengepakkan sayapnya dengan
bebas ia perlu belajar sesuatu. Sebelum mencapai atau menjadi seseorang yang mulia
di hadapan Allah, dirinya harus melalui serangkaian pemahaman kecil yang cukup
berat di usianya yang terbilang masih cukup kecil.
Aisha
kembali berlari-lari mengejar kupu-kupu menggemaskan yang sedang rehat di
hamparan sajadah rerumputan hijau. Tangan kecilnya terentang ke depan,
menggapai kupu-kupu yang tak kunjung ia dapat. Larinya makin kencang, begitu
semangatnya ia berlari sehingga tersandung sebuah batu.
“Bunda
aku jatuh…” Aisha langsung terisak. Hidungnya kembang kempis memerah.
“Kayak
ada yang panggil bunda, tapi kok orangnya gak ada…” bunda celingak-celinguk.
“Bundaaaaa…”
teriak Aisha makin kencang lagi dalam isaknya.
Life is about forgiving
Life is about sincerity
Life is about giving…
without hoping something in return
only pursuit of Allah’s pleasure (keridhoan Allah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar