Langit
sore di bandara Soekarno-Hatta tampak begitu lengang. Entah gerangan mengapa
hal ini tak biasanya terjadi. Kelengangan di sekitar bandara ini akan
menyisakan kepedihan yang tak lama lagi akan segera menguar diantara mereka
berdua.
Tatapan
pias Audrey terlihat tak rela melepas kepergian Adryan. Dalam hitungan menit
mungkin kelenjar lakrima atau biasa
disebut kelenjar air mata Audry sebentar lagi akan menetes. Saat ini tetesannya
masih berada tepat dibawah alis. “Ta… tapi kenapa harus Rusia?” tanyanya
demikian. Jemari kecilnya masih bertaut di lengan Audrey. Meminta kejelasan
pria bertubuh kurus dihadapannya. Mata Adryan sebenarnya juga berkaca-kaca.
Namun tak terlihat jelas, karena ia mengenakan sunglasses. Sengaja dirinya mengenakan kacamata itu agar membantu
Audrey untuk tetap tegar melepas kepergian dirinya. Adryan hanya tidak ingin
menambah suasana menjadi lebih mengharukan.
***
Dear Audrey,
Ini surat kesebelas
dalam kurun waktu empat tahun terakhir yang telah kukirim padamu. Semoga kau
baik, dan akan selalu baik-baik saja. Tak terasa hari cepat bergulir menjadi
menahun. Apakah masih ada selaksa amarah atau prasangka yang hinggap di dalam
dirimu? Kuharap sejatinya segala rasa yang membuatmu kian tersiksa, kini telah
menguap. Bagaikan abu yang menempel luruh saat embun membasuh permukaan
dedaunan. Audrey, semoga jarak yang memisahkan tak jadi penghalang bagi
keutuhan kita yang tak bisa lagi saling bersua. Audrey, namamu sekali lagi
kutasbihkan agar asa dan rindu yang tiap kali datang menyilu menjelma menjadi
kekuatan yang tidak merepihkan pilu. Tak ubahnya seperti namamu, “Audrey” yang
berarti kekuatan. Semoga tiap ejaan namamu yang kurapal ditiap harinya bisa menjadi
nyala bagi kerapuhan jiwaku yang sunyi akan kealpaan bayang dirimu disini.
Dalam keheningan malam yang sunyi Audrey
meremas surat yang baru saja ia baca. Bermandikan larikan cahaya gemintang yang
bersinar teduh. Hatinya bagai diiris sembilu saat membaca tiap kata yang
terajut indah di atas surat berwarna biru. Ia kembali merogoh isi dalam amplop.
Berharap Adryan meninggalkan alamat tempat tinggalnya di dalam amplop tersebut.
Namun tak dinyana harapan yang ia inginkan tak terwujud di dalamnya. Kembali
sekelebat kenangan kini hinggap di depan matanya. Bagaikan sebuah layar besar
yang terpampang di pelupuk mata dan terekam jelas dibenaknya. Seketika
kehangatan tebit di ujung sisi-sisi matanya. Menjatuhkan benih air mata yang
tak sanggup lagi ia panggul selama kurun waktu belakangan ini.
“Kamu…”
bisik Adryan, terdengar jelas dalam balkon apartemen yang dinaungi kesunyian
pekat. “Coba lihat ke atas langit!” pintanya kepada gadis yang tengah cemberut
di sebelahnya. “Apakah kamu tahu nama-nama bintang di atas langit sana?”
lanjutnya. Yang ditanya hanya menggeleng pasrah tidak bersemangat menanggapi.
“Hmm…
kamu payah!” ucapnya sambil menjawil hidung mancung Audrey. “Bintang yang
paling kusuka adalah Polaris.” imbuhnya kemudian. Kepala Audrey mendongak
menatap wajah Adryan.
“Polaris?”
gumam Audrey. “Kenapa bukan Betelgeuse saja? “Isn’t it one of the brightest stars in the sky and it has gigantic
proportion?” protesnya.
“Bagiku
Polaris punya makna tersendiri.” Sebenarnya Audrey sedang malas mendengarkan
penuturan Adryan. Baginya es krim di hadapannya lebih menarik untuk disantap disbanding
mendengarkan celotehan Adryan tentang makna perbintangan.
“Polaris is frequently
used as a navigation star. Bintang tersebut juga merupakan
teman bagi orang-orang yang berpegian karena bisa menunjukkan arah bagi mereka.
Bintang itu menunjuk ke arah utara. So, if
someday you get lost, you can find your way by looking for the North Star.”
“I think I’ll never get
lost.” Audrey menjawab datar penjelasan Adryan sambil ber-puuh ria karena es krimnya baru saja
habis. Di sampingnya juga terdapat Adryan yang berdiri mematung dengan alis
bertaut mendengar jawaban singkat yang baru saja dilontarkan Audrey. Lelaki itu
tahu, Audrey sedang tidak bersemangat membahas apapun.
Audrey
menoleh ke Adryan, keheningan sejenak terjadi. Seperti ruang hampa yang
kehilangan udara tanpa kisi-kisi jendela dan tak berventilasi. Kesunyian langit
malam di jantung kota Jakarta pun meresap diantara mereka. Angin berdesir
membungkus malam yang dingin menusuk. Mereka saling bersitatap selama sepersekian
detik. Kemudian Audrey bekata pelan, “Because
you’re my navigation star. Why would I look for another star, if that star is
already existed?”
Mendengar
pernyataan seperti itu Adryan langsung tertegun. Ia tersenyum simpul dan
mengeluarkan tangan dari saku celananya. Menautkan penjepit rambut bermanik
bintang di ujung rambut Audrey. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir
mereka berdua. Hanya acakan riap rambut yang diterima Audrey oleh Adryan. Pria
itu memang tidak romantis. Namun bagi Audrey semburat sorot matanya itu sudah
lebih dari cukup.
***
Yasnaya
Poliana, Rusia. 14 February 2005
“Privyet. Kak dyela[1], Audrey?” sapanya lirih seorang diri.
Tetapi nada suaranya lebih terdengar frustrasi ketimbang bahagia. Adryan berkelana
di suatu tempat bersejarah bagi kesusastraan Rusia. Pergi ke kota Tula yang letaknya
sejauh 193 km dari selatan kota Moskow. Meninggalkan selebrasi yang sedang
diramaikan oleh seluruh manusia yang sedang merayakan hari kasih sayang. Adryan
seorang diri yang sedang berjalan di jalur kecil utama menuju ke sebuah rumah. Di
sisi kanan-kiri terdapat pohon pinus lebat yang berimbun salju. Bulan ini
adalah bulan keempat di musim dingin yang mana bulan selanjutnya adalah bulan
penghujung yang sekaligus penutup di musim salju ini. Sepertinya tidak banyak
pengunjung yang datang ke sini. Musim dingin yang meringkuk di minus delapan
derajat membuat penduduk disini dan mungkin juga para turis enggan untuk keluar
dari peraduan. Di musim seperti ini ketinggian salju bisa mencapai 20 cm- salju
di sini cepat dibersihkan dengan traktor penyingkir salju. Adryan kembali
merapakatkan mantelnya yang berlapis-lapis untuk yang kesekian kalinya. Dirinya
juga mengambil syal tebal dan mengikatkannya di sekitar leher. Dinginnya Rusia
membuat bibirnya membiru dan tangannya terasa beku. Ditambah lagi rasa rindunya
pada Audey yang semakin menjelma di setiap harinya. Tujuan perjalanannya adalah
ke sebuah rumah tua bercat putih yang masih terawat asli hingga menginjak abad
ke dua puluh. Tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah penulis legendaris yang telah
menelurkan novel roman sepanjang masa Anna
Karenina. Penulis tersebut merupakan salah satu penulis favorit Audrey, Leo
Toltsoy. Andaikan saja ia kini bersama Audrey mengunjungi rumah penulis
favoritnya, mungkin sekarang Audrey sudah berdecak kagum tak henti-hentinya. Memasuki
pintu jalan masuk, ia disambut oleh rak-rak tinggi yang berisi banyak buku. Di
dalam rumah tersebut Adryan mengelilingi ruang tidur, ruang belajar milik
Toltsoy.
Sehari
sebelumnya Adryan menjejakkan kaki ke Ismailova, salah satu pusat pasar yang
berada di Rusia. Jaraknya belasan kilometer dari kota Moskow. Pasar tradisional
tersebut tak biasanya ramai dikunjungi pembeli. Mungkin karena esok adalah hari
Valentine. Semua orang datang kesini untuk membeli sesuatu yang berhubungan
dengan hari kasih sayang. Toko-toko banyak dihiasi oleh warna pink, bunga,
cokelat berbentuk hati, dsb. Berbagai ornamen, barang-barang antik, atau barang
khas rusia juga mudah sekali ditemukan disini. Ia ingin membeli sesuatu untuk
Audrey. Setelah lama berkeliling menjelajah ke penjuru pedagang di seputar
jalur sempit beraspalkan salju putih tebal, ia langsung jatuh hati dengan
boneka kayu khas Rusia, Matrioska. Boneka kayu yang ketika dibuka di dalamnya
terdapat tumpukan boneka-boneka yang semakin kecil. Sebenarnya mereka berdua
tidak seperti pasangan kebanyakan lainnya yang merayakan hari Valentine. Oleh
karena itu Adryan memilih Matrioska sebagai hadiah untuk kiriman surat
berikutnya.
***
Surat
ketiga belas Adryan datang, kali ini bersama paket. Audrey tak sabaran untuk
membuka isi di dalamnya. Dia merobek amplopnya. Tidak ada banyak kata di
dalamnya, hanya ucapan “Audrey, when you
look upon the stars. Find your own Polaris. I’m right there with you.” Ada
yang aneh pada surat ini. Adryan
menuliskan -surat ke-13- di penutup amplopnya. Dada Audrey berdesir kuat. Ada
sesuatu yang janggal namun ia tidak mengerti ada apa sebenarnya. Dia kemudian
mengambil Matrioska di dalam kotak paket tersebut. Dibelakanya terukir nama
mereka berdua dan juga sebuah kalimat singkat “Прощай навсегда.” Audrey begitu hafal berapa jumlah surat yang
dikirimkan oleh kekasihnya. Gadis itu langsung membuka kotak berisikan
surat-surat, ia menghitung semua jumlahnya. Ada sebanyak sebelas surat. Lalu
mengapa ia menulis surat ketiga belas. Apa
Adryan salah menghitung?- pikirnya pendek. Surat terakhir tersebut tertiup
angin yang berembus melalui jendela kamar. Membuat surat itu terbalik. Di
bagian belakang ternyata ada tulisan. Tertera sebuah alamat dan menyuruhnya
untuk datang kesana sesegera mungkin.
Beberapa
hari kemudian Audrey tiba di Rusia. Ditemani seorang pria berperawakan
Indonesia yang menjemputnya sedari tadi di bandara. Butuh waktu selama tiga jam untuk tiba di
sebuah lembah sempit berkelok bernama Dargavs berlokasi di North Ossetia.
Selama dalam perjalanan ia tidak banyak bertanya pada pemuda tersebut. Sepanjang
perjalanan menuju rumah berbukit ia hanya merasakan hawa aneh di sekujur
tubuhnya.
“Tempat
apa ini?” tanyanya ketika memasuki rumah batu yang di sekelilingnya yang juga
terdapat miniatur rumah yang berbetuk sama. Di dalam rumah itu terdapat benda-benda peninggalan
milik Adryan seperti halnya-buku, pena, mantel, dsb. Juga terdapat peti kayu panjang
berpelitur.
Pemuda
di sebelahnya berujar, “Ini makam Adryan.” Nafas Audrey langsung tercekat. Air
matanya tumpah seketika. Ia jatuh tersungkur di depan peti mati Adryan sambil
mendekap erat Matrioska di dadanya. “Seharusnya ia tidak jatuh cinta padamu.
Karena itu akan menyakitkan bagi kalian berdua. Sejak dua tahun yang lalu ia sudah
meninggal dunia karena penyakit yang belum ada obatnya. Spinocerebellar Degeneration. Ia kehilangan kendali pada syaraf
motoriknya.” Audrey makin terisak saat mendengar kata-kata itu. “Adryan sengaja
membuat surat sebanyak mungkin agar kamu percaya bahwa ketika bahkan ia sudah
tiada, ia akan selalu berada di sisimu. Kamu mungkin bertanya kenapa surat
terakhir yang ia kirim bertuliskan angka tiga
belas. Mitos tiga belas merupakan angka yang diyakini bagi sebagian
masyarakat di dunia adalah angka sial dan juga angka kematian. Surat itu adalah
sebagai surat penutup yang Adryan kirimkan untukmu. Dan sisa surat selama kurun
waktu dua tahun belakangan ini, aku yang mengirimnya. Ukiran aksara Rusia yang
terdapat di Matrioska itu dibaca: Proshchay
navsegda yang berarti Selamat tinggal
untuk selamanya.” ujar pemuda itu menatap punggung Audrey yang naik turun.
Masih tersedu.
[1] Halo. Apa kabar?
Cerpen ini masuk dalam antologi "Long Distance Relationship" penerbit Nusantara.
Cerpen ini masuk dalam antologi "Long Distance Relationship" penerbit Nusantara.