Minggu, 28 Juli 2013

LDR: Saat Tak Hanya Jarak Yang Memisahkan





Jakarta, 1 Desember 2004.
Langit sore di bandara Soekarno-Hatta tampak begitu lengang. Entah gerangan mengapa hal ini tak biasanya terjadi. Kelengangan di sekitar bandara ini akan menyisakan kepedihan yang tak lama lagi akan segera menguar diantara mereka berdua.
Tatapan pias Audrey terlihat tak rela melepas kepergian Adryan. Dalam hitungan menit mungkin kelenjar lakrima atau biasa disebut kelenjar air mata Audry sebentar lagi akan menetes. Saat ini tetesannya masih berada tepat dibawah alis. “Ta… tapi kenapa harus Rusia?” tanyanya demikian. Jemari kecilnya masih bertaut di lengan Audrey. Meminta kejelasan pria bertubuh kurus dihadapannya. Mata Adryan sebenarnya juga berkaca-kaca. Namun tak terlihat jelas, karena ia mengenakan sunglasses. Sengaja dirinya mengenakan kacamata itu agar membantu Audrey untuk tetap tegar melepas kepergian dirinya. Adryan hanya tidak ingin menambah suasana menjadi lebih mengharukan.
***
Dear Audrey,
Ini surat kesebelas dalam kurun waktu empat tahun terakhir yang telah kukirim padamu. Semoga kau baik, dan akan selalu baik-baik saja. Tak terasa hari cepat bergulir menjadi menahun. Apakah masih ada selaksa amarah atau prasangka yang hinggap di dalam dirimu? Kuharap sejatinya segala rasa yang membuatmu kian tersiksa, kini telah menguap. Bagaikan abu yang menempel luruh saat embun membasuh permukaan dedaunan. Audrey, semoga jarak yang memisahkan tak jadi penghalang bagi keutuhan kita yang tak bisa lagi saling bersua. Audrey, namamu sekali lagi kutasbihkan agar asa dan rindu yang tiap kali datang menyilu menjelma menjadi kekuatan yang tidak merepihkan pilu. Tak ubahnya seperti namamu, “Audrey” yang berarti kekuatan. Semoga tiap ejaan namamu yang kurapal ditiap harinya bisa menjadi nyala bagi kerapuhan jiwaku yang sunyi akan kealpaan bayang dirimu disini.
            Dalam keheningan malam yang sunyi Audrey meremas surat yang baru saja ia baca. Bermandikan larikan cahaya gemintang yang bersinar teduh. Hatinya bagai diiris sembilu saat membaca tiap kata yang terajut indah di atas surat berwarna biru. Ia kembali merogoh isi dalam amplop. Berharap Adryan meninggalkan alamat tempat tinggalnya di dalam amplop tersebut. Namun tak dinyana harapan yang ia inginkan tak terwujud di dalamnya. Kembali sekelebat kenangan kini hinggap di depan matanya. Bagaikan sebuah layar besar yang terpampang di pelupuk mata dan terekam jelas dibenaknya. Seketika kehangatan tebit di ujung sisi-sisi matanya. Menjatuhkan benih air mata yang tak sanggup lagi ia panggul selama kurun waktu belakangan ini.            
“Kamu…” bisik Adryan, terdengar jelas dalam balkon apartemen yang dinaungi kesunyian pekat. “Coba lihat ke atas langit!” pintanya kepada gadis yang tengah cemberut di sebelahnya. “Apakah kamu tahu nama-nama bintang di atas langit sana?” lanjutnya. Yang ditanya hanya menggeleng pasrah tidak bersemangat menanggapi.
“Hmm… kamu payah!” ucapnya sambil menjawil hidung mancung Audrey. “Bintang yang paling kusuka adalah Polaris.” imbuhnya kemudian. Kepala Audrey mendongak menatap wajah Adryan.
“Polaris?” gumam Audrey. “Kenapa bukan Betelgeuse saja? “Isn’t it one of the brightest stars in the sky and it has gigantic proportion?” protesnya.
“Bagiku Polaris punya makna tersendiri.” Sebenarnya Audrey sedang malas mendengarkan penuturan Adryan. Baginya es krim di hadapannya lebih menarik untuk disantap disbanding mendengarkan celotehan Adryan tentang makna perbintangan.
“Polaris is frequently used as a navigation star. Bintang tersebut juga merupakan teman bagi orang-orang yang berpegian karena bisa menunjukkan arah bagi mereka. Bintang itu menunjuk ke arah utara. So, if someday you get lost, you can find your way by looking for the North Star.”
“I think I’ll never get lost.” Audrey menjawab datar penjelasan Adryan sambil ber-puuh ria karena es krimnya baru saja habis. Di sampingnya juga terdapat Adryan yang berdiri mematung dengan alis bertaut mendengar jawaban singkat yang baru saja dilontarkan Audrey. Lelaki itu tahu, Audrey sedang tidak bersemangat membahas apapun.
Audrey menoleh ke Adryan, keheningan sejenak terjadi. Seperti ruang hampa yang kehilangan udara tanpa kisi-kisi jendela dan tak berventilasi. Kesunyian langit malam di jantung kota Jakarta pun meresap diantara mereka. Angin berdesir membungkus malam yang dingin menusuk. Mereka saling bersitatap selama sepersekian detik. Kemudian Audrey bekata pelan, “Because you’re my navigation star. Why would I look for another star, if that star is already existed?”
Mendengar pernyataan seperti itu Adryan langsung tertegun. Ia tersenyum simpul dan mengeluarkan tangan dari saku celananya. Menautkan penjepit rambut bermanik bintang di ujung rambut Audrey. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mereka berdua. Hanya acakan riap rambut yang diterima Audrey oleh Adryan. Pria itu memang tidak romantis. Namun bagi Audrey semburat sorot matanya itu sudah lebih dari cukup.  
***
Yasnaya Poliana, Rusia. 14 February 2005
            Privyet. Kak dyela[1], Audrey?” sapanya lirih seorang diri. Tetapi nada suaranya lebih terdengar frustrasi ketimbang bahagia. Adryan berkelana di suatu tempat bersejarah bagi kesusastraan Rusia. Pergi ke kota Tula yang letaknya sejauh 193 km dari selatan kota Moskow. Meninggalkan selebrasi yang sedang diramaikan oleh seluruh manusia yang sedang merayakan hari kasih sayang. Adryan seorang diri yang sedang berjalan di jalur kecil utama menuju ke sebuah rumah. Di sisi kanan-kiri terdapat pohon pinus lebat yang berimbun salju. Bulan ini adalah bulan keempat di musim dingin yang mana bulan selanjutnya adalah bulan penghujung yang sekaligus penutup di musim salju ini. Sepertinya tidak banyak pengunjung yang datang ke sini. Musim dingin yang meringkuk di minus delapan derajat membuat penduduk disini dan mungkin juga para turis enggan untuk keluar dari peraduan. Di musim seperti ini ketinggian salju bisa mencapai 20 cm- salju di sini cepat dibersihkan dengan traktor penyingkir salju. Adryan kembali merapakatkan mantelnya yang berlapis-lapis untuk yang kesekian kalinya. Dirinya juga mengambil syal tebal dan mengikatkannya di sekitar leher. Dinginnya Rusia membuat bibirnya membiru dan tangannya terasa beku. Ditambah lagi rasa rindunya pada Audey yang semakin menjelma di setiap harinya. Tujuan perjalanannya adalah ke sebuah rumah tua bercat putih yang masih terawat asli hingga menginjak abad ke dua puluh. Tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah penulis legendaris yang telah menelurkan novel roman sepanjang masa Anna Karenina. Penulis tersebut merupakan salah satu penulis favorit Audrey, Leo Toltsoy. Andaikan saja ia kini bersama Audrey mengunjungi rumah penulis favoritnya, mungkin sekarang Audrey sudah berdecak kagum tak henti-hentinya. Memasuki pintu jalan masuk, ia disambut oleh rak-rak tinggi yang berisi banyak buku. Di dalam rumah tersebut Adryan mengelilingi ruang tidur, ruang belajar milik Toltsoy.
Sehari sebelumnya Adryan menjejakkan kaki ke Ismailova, salah satu pusat pasar yang berada di Rusia. Jaraknya belasan kilometer dari kota Moskow. Pasar tradisional tersebut tak biasanya ramai dikunjungi pembeli. Mungkin karena esok adalah hari Valentine. Semua orang datang kesini untuk membeli sesuatu yang berhubungan dengan hari kasih sayang. Toko-toko banyak dihiasi oleh warna pink, bunga, cokelat berbentuk hati, dsb. Berbagai ornamen, barang-barang antik, atau barang khas rusia juga mudah sekali ditemukan disini. Ia ingin membeli sesuatu untuk Audrey. Setelah lama berkeliling menjelajah ke penjuru pedagang di seputar jalur sempit beraspalkan salju putih tebal, ia langsung jatuh hati dengan boneka kayu khas Rusia, Matrioska. Boneka kayu yang ketika dibuka di dalamnya terdapat tumpukan boneka-boneka yang semakin kecil. Sebenarnya mereka berdua tidak seperti pasangan kebanyakan lainnya yang merayakan hari Valentine. Oleh karena itu Adryan memilih Matrioska sebagai hadiah untuk kiriman surat berikutnya.
***
Surat ketiga belas Adryan datang, kali ini bersama paket. Audrey tak sabaran untuk membuka isi di dalamnya. Dia merobek amplopnya. Tidak ada banyak kata di dalamnya, hanya ucapan “Audrey, when you look upon the stars. Find your own Polaris. I’m right there with you.” Ada yang aneh pada surat ini. Adryan menuliskan -surat ke-13- di penutup amplopnya. Dada Audrey berdesir kuat. Ada sesuatu yang janggal namun ia tidak mengerti ada apa sebenarnya. Dia kemudian mengambil Matrioska di dalam kotak paket tersebut. Dibelakanya terukir nama mereka berdua dan juga sebuah kalimat singkat “Прощай навсегда.” Audrey begitu hafal berapa jumlah surat yang dikirimkan oleh kekasihnya. Gadis itu langsung membuka kotak berisikan surat-surat, ia menghitung semua jumlahnya. Ada sebanyak sebelas surat. Lalu mengapa ia menulis surat ketiga belas. Apa Adryan salah menghitung?- pikirnya pendek. Surat terakhir tersebut tertiup angin yang berembus melalui jendela kamar. Membuat surat itu terbalik. Di bagian belakang ternyata ada tulisan. Tertera sebuah alamat dan menyuruhnya untuk datang kesana  sesegera mungkin.
Beberapa hari kemudian Audrey tiba di Rusia. Ditemani seorang pria berperawakan Indonesia yang menjemputnya sedari tadi di bandara.  Butuh waktu selama tiga jam untuk tiba di sebuah lembah sempit berkelok bernama Dargavs berlokasi di North Ossetia. Selama dalam perjalanan ia tidak banyak bertanya pada pemuda tersebut. Sepanjang perjalanan menuju rumah berbukit ia hanya merasakan hawa aneh di sekujur tubuhnya.

“Tempat apa ini?” tanyanya ketika memasuki rumah batu yang di sekelilingnya yang juga terdapat miniatur rumah yang berbetuk sama.  Di dalam rumah itu terdapat benda-benda peninggalan milik Adryan seperti halnya-buku, pena, mantel, dsb. Juga terdapat peti kayu panjang berpelitur.
Pemuda di sebelahnya berujar, “Ini makam Adryan.” Nafas Audrey langsung tercekat. Air matanya tumpah seketika. Ia jatuh tersungkur di depan peti mati Adryan sambil mendekap erat Matrioska di dadanya. “Seharusnya ia tidak jatuh cinta padamu. Karena itu akan menyakitkan bagi kalian berdua. Sejak dua tahun yang lalu ia sudah meninggal dunia karena penyakit yang belum ada obatnya. Spinocerebellar Degeneration. Ia kehilangan kendali pada syaraf motoriknya.” Audrey makin terisak saat mendengar kata-kata itu. “Adryan sengaja membuat surat sebanyak mungkin agar kamu percaya bahwa ketika bahkan ia sudah tiada, ia akan selalu berada di sisimu. Kamu mungkin bertanya kenapa surat terakhir yang ia kirim bertuliskan angka tiga belas. Mitos tiga belas merupakan angka yang diyakini bagi sebagian masyarakat di dunia adalah angka sial dan juga angka kematian. Surat itu adalah sebagai surat penutup yang Adryan kirimkan untukmu. Dan sisa surat selama kurun waktu dua tahun belakangan ini, aku yang mengirimnya. Ukiran aksara Rusia yang terdapat di Matrioska itu dibaca: Proshchay navsegda yang berarti Selamat tinggal untuk selamanya.” ujar pemuda itu menatap punggung Audrey yang naik turun. Masih tersedu.      


[1] Halo. Apa kabar? 


 Cerpen ini masuk dalam antologi "Long Distance Relationship" penerbit Nusantara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar