Jumat, 12 Juli 2013

Bersyukurkah kita?

Saya tertarik menulis tulisan ini karena berkat teman kecil saya yang memposting tulisan di note-nya. Sebelumnya saya juga sering di tandai beberapa notes-notes yang ia buat. Acap kali saya membacanya dan Alhamdulillah hal itu membawa dampak positif bagi saya. Senang rasanya bila memiliki teman yang selalu bisa mengingatkan dalam kebaikan, terlebih lagi mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Tapi yang membuat saya bingung mengapa bila kita mengobrol secara personal itu hanyalah obrolan-obrolan flashback masa kecil bersama teman-teman, dia yang tiba-tiba curhat, saling bergurau satu sama lain, dan tak jarang pertanyaannya kapan saya memiliki seorang pendamping. Saya sebenarnya ingin berbicara dan bertukar pikiran masalah agama atau semacamnya. Mungkin sedari kecil kita berdua memang tidak pernah serius ketika berbicara satu sama lain dan kerjaannya hanya saling beradu mulut. Kemudian saya menyimpulkan, mungkin dia tipikal orang yang mengingatkan dalam kebaikan yang hanya bisa di dalam tulisan atau mungkin juga dia berfikir 'saya juga jauh lebih mengerti lah' toh buat apa diingatkan. Belum lama memang Allah mempertemukan kami kembali dalam sebuah reuni kecil yang mana hanya tiga orang dari kami. Apa yang seperti itu termasuk kategori reuni? Hehee. Karena saya pikir kalau saat itu tidak dipaksakan mungkin kami bertiga tidak akan pernah bertemu kembali. Sampai-sampai ketika sudah hampir tiba di lokasi harus balik menjemput Pipit di kampusnya dan teman saya yang akan saya ceritakan di sini sudah menunggu di lokasi. Sayang sekali saya tidak mengabadikan momen pertemua kami di dalam ponsel saya. Lagipula, sepertinya tiga dari kami bukanlah orang yang gemar foto-foto.

Tulisan yang ia buat mengenai Manusia dan Kebahagiannya. 
Kita sebagai manusia memiliki sifat 'gluttony' atau dalam kata lain tidak pernah puas dengan apa yang kita miliki. Still want more and more...

Saat itu dia masih duduk di kelas tiga MTS, saat teman-temannya memiliki sebuah handphone timbullah keinginan ingin memiliki sebuah handphone seperti teman-temannya. Saat itu ia berfikir mungkin ketika ia memiliki handphone ia akan bahagia. Dan ketika ia sudah memilikinya, apakah ia bahagia? Tentu saja tidak. Selang setahun kemudian teknologi handphone pun semakin canggih dan handphone yang ia miliki pun sudah jauh ketinggalan teknologinya. Waktu itu ketika kami bertemu, ada telepon masuk dan dia malu-malu mengeluarkan handphone dari saku celananya. Yang ada di benak saya ketika melihat dia 'kenapa harus malu?' Saya justru senang melihat kesederhanaan yang ia miliki. Ternyata setelah saya tahu perjuangan ia dalam memiliki handphone tersebut sangat butuh perjuangan. Ia dapat memiliki handphone tersebut ketika sudah duduk di kelas 2 SMA. Bayangkan berapa tahun ia harus menabung untuk membeli sebuah handphone??

"Oke, ternyata sampai kelas 1 SMA saya juga tidak punya hp! Barulah ketika ingin naik kelas 2 saya baru bisa beli Hp, ya itupun setelah nabung super lama dan harus jajan semengenaskan mungkin."

Baca: "Harus jajan semengenaskan mungkin..." 
Terlepas dari kalimat hiperbolik yang ia gunakan. Saya berfikir kembali dan bersyukur terhadap apa yang saya miliki. Pada saat itu saya memiliki handphone tidak harus menabung susah-susah. Diberikan oleh orang tua. Baru-baru ini saja setelah saya sudah memiliki pekerjaan saat di bangku kuliah, baru bisa memiliki handphone dari hasil kerja sendiri.

Kemudian keinginan dia beralih ke benda yang jauh lebih mahal yaitu, motor. Akan tetapi keinginan yang ia miliki harus di distorsi dengan ujian masuk PTN. Sejak kecil saya tahu, dia bercita-cita ingin menjadi arsitek. Dia pernah menulis biodata di buku saya saat kita sama-sama masih kecil. Akan tetapi setelah ia diterima di UI jurusan arsitektur, apakah lantas ia bahagia?? Ternyata tidak, tidak sama sekali. Kebahagiaan yang ia miliki selama 2 hari setelah mendapatkan kabar diterima di UI di jurusan yang ia idam-idamkan, harus dibayar selama 1,5 tahun terpenjara dalam mata kuliah menggambar dan itu-itu saja. Tidak ada hitung-hitungannya, katanya saat itu kepada saya. Kalau ingin hitung-hitungan kenapa tidak masuk FMIPA saja ya? bingung saya. Masa dia tidak telaah dulu apa saja yang akan di pelajari ketika masuk arsitek?

Akhirnya ia bisa membeli motor dan membelinya itu bukan cuma-cuma. Ia harus kredit dengan penghasilanya sebagai guru les dan untuk kesekian kalinya harus menekan uang pemasukan yang ia miliki untuk menyicil motor. Akhirnya, sekarang ia duduk di semester 5 di UIN  jurusan Pendidikan Agama Islam. Ia keluar dari arsitektur UI. Dan pasti kita bertanya-tanya lantas apakah ia bahagia setelah keluar dari jurusan arsitek dan mengenyam pendidikan di UIN?? Sekali lagi tidak demikian. Itu berarti ia harus iri melihat teman-teman seangkatannya saat sedang mengerjakan skripsi dan seperti halnya saya yang sudah lulus. Saat itu memang ia sering memberikan support untuk saya agar terus mengerjakan skripsi. Terlebih lagi, ia harus telat menikah dari perhitungan sebelumnya selama 2 tahun.

Dari kejadian-kejadian membuat saya berpikir bahwasannya manusia bukanlah pribadi yang pandai bersyukur. Selalu ingin lagi dan lagi. Saya pikir hanya diri saya saja yang memiliki perasaan demikian. Di luar sana ada banyak sekali orang yang mungkin jauh dari kata bersyukur. Karena kebahagiaan bukan diukur dari berapa banyaknya materi yang kita miliki. Karena ketika kita sudah memiliki materi yang kita inginkan, kita pasti menginginkan sesuatu yang lebih dan lebih lagi. Hal ini juga mengingatkan saya pada film "Coraline" yaitu film animasi yang menginspirasi saya untuk dijadikan sebagai bahan skripsi saya. Dimana di film tersebut ada seorang anak kecil yang selalu ingin di manja oleh orang tua "impiannya" dan akhirnya ia terjebak dalam keinginan-keinginan tersebut. Sehingga mengakibatkan dirinya mendapatkan a series of unfotunate event.

Yang terpenting adalah bagaimana kita harus terus berupaya untuk bersyukur dan kurangi mengeluh :)

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (An-Nahl: 53)
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.” (An-Nahl: 18)

“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]

Kembali saya di ingatkan pada ciri khas surat Ar-Rahman yang selalu di ulang-ulang di dalam suratnya: Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?). Hal ini dimaksudkan agar supaya para insan manusia selalu mengecap rasa syukur pada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar