Selasa, 21 Juni 2011

Irreplaceable Friend


We met by chance in a rainy day
Like an angle from the heaven
Your wings caught on me
When I was in a despaired

Sharing a burden to you
Butterfly comes out of chrysalis
Flying high into the sky
It reliefs me a lot

We shared many things
Happiness, sadness, and painful
I’m grateful to know you even though we miles apart
You won’t leave me behind

With you by my side
I had a wonderful life
I won’t forget all the time
That we have spent together
I’ll treasure it for a lifetime

Fall For You ¯\(∪ ◡ ∪) /¯


Every time I see you from a distance
Your smile like a sunshine
Brighten all of my life
Disappear all of my worries


Just see your smile
I can hear my heart beat so fast
Like a huge wave on the sea
That swept the coral

The seeds of love
Which grew in my heart beautifully
I’ve been kept it carefully
I wonder if you notice me

I see the stars all the night
I don’t know whether it’s right or wrong 
I wish upon a star
Convey my regard to him


Flowers bloom in the garden
Teardrops fall from the heaven
Slowly loving you seems a burden
Wishing I have the courage to confess

Minggu, 19 Juni 2011

Teardrops In The Rain

Langit cerah di siang hari mengayuni langkah para murid SMA 14 yang sedang asyik bermain sepak bola di tengah teriknya cahaya mentari. Tami duduk sendirian di bangku lapangan sekolah sedang melihat cowok-cowok bermain sepak bola, ia asyik menyedot soft drink. Ketika ia merogoh hp yang yang berada dalam sakunya tak dinyana ada bola memantul begitu kencang bagaikan angin puyuh berputar-putar sebentar lagi akan mengenai kepalanya... Tiba-tiba tangan kuat itu berhasil menangkisnya dengan keras. Namun kening Tami terkena siku Reno. Bagaikan tangan yang dikirim Tuhan oleh Tami, malaikat pelindung tepatnya. Melindungi serangan bola yang hampir saja mengenai kepala Tami. “Woy, nendang bolanya ke arah yang tepat donk. Hampir aja kan kena dia.” tegur Reno pada Dafi.
“Sorry-sorry, Tam loe gak pa-pa kan?” Tami hanya mengangguk lesu. Setelah yakin tidak terjadi apa-apa pada cewek itu, Dafi selaku cowok yang menendang bola dengan keras tadi kembali melanjutkan permainannya bersama teman-temannya.
“Serius gak apa-apa?” tanya Reno khawatir.
“Iya, gue baik-baik aja”
“Tapi tadi kena siku gue kan? Sini coba gue lihat.” tangan lembut Reno menyingkirkan rambut di kening Tami dan mengusap lembut keningnya. “It’s a little bit bruise. Does it hurt?” tanya Reno memijat dengan hati-hati. “Aw... sakit.” Tami mengaduh kesakitan. “Tadi katanya gak kenapa-kenapa.” ucap Reno sambil tersenyum. Senyuman termanis yang sering dilihat Tami secara diam-diam, kini diperuntukkan langsung olehnya. Degup jantung Tami berdetak begitu cepat tak sanggup berkata apa-apa. “Kita ke ruang UKS nanti biar gue yang obatin.” tanpa meminta persetujuan Tami, Reno menggenggam tangannya menuju ruang UKS.
“Maaf ya gara-gara gue, loe jadi kesakitan gini.” ucap Reno sambil mengobati kening Tami dengan es batu. “Justru gue harus berterimakasih karena loe udah selamatin gue, Ren...”
*************************************
“Tami, pulang bareng siapa?” sapa Reno di depan gerbang sekolah.
“Sama Bianca...”
“Nggak, gue pulang sendiri kok. Loe pulang berdua aja bareng Tami.” ujar Bianca sambil menyubit lengan Tami. Cukup membuat Tami mengernyitkan dahi. “Udah deh! Loe pulang bareng dia aja. Kapan lagi coba?” bisik Bianca
Ketika Tami sampai di hadapan Reno. Reno kembali memegang kening Tami. “Masih sakit?” tanyanya dengan cemas. “Udah mendingan.” Reno mengacak-acak rambut Tami dengan lembut.
Selama perjalanan Tami hanya bingung dengan sikap Reno yang lain dari biasanya. Ia bertanya-tanya dalam hati mengapa Reno memperlakukannya demikian lembut. “Apa Reno sudah tahu kalau aku suka padanya?” kalimat itu memantul terus di relung hati Tami. “Tam, kita makan dulu yuk! Gue laper ni.” Ajak Reno namun tak memperoleh jawaban dari Tami. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. “Tam...Tam...Tami...”
“Eh, iya Reno ada apa?” tanyanya gelagapan. “Loe ngelamun ya? Kita makan dulu ya?”
“Oke...”
Sambil menunggu makanan datang Reno memandangi wajah Tami terus. Hal ini cukup membuat pipi Tami seperti kepiting rebus. Ia tak membalas tatapan Reno, malah ia alihkan pandangannya ke gantungan handphone lucu berbentuk bintang diatasnya terdapat pelangi berhias glitter biru yang menjuntai di saku seragam Reno. Baginya gantungan itu lebih enak dilihat ketimbang membalas tatapan hangat Reno. “Kok ada ya cowok yang suka pakai accessories kayak gitu.” pekik Tami dalam hati.
“Reno, kenapa sih liatin aku terus? Ada yang aneh di wajahku ya?” tanya Tami gugup.
“Oh, nggak... kamu cantik Tam. Kamu sendiri ngapain liat...” Reno celingak celinguk ke seragamnya. “Ini! Dari tadi kamu liat ini. Kamu suka? Ini untukmu aja,” Reno memegang punggung tangan Tami, membuka telapak tangan Tami dan memberikan padanya. “Oh my God! He’s touching my hand and just said that I’m beautiful,” Tami menjerit dalam hati dan menggigit ujung bibirnya.
“Di jaga baik-baik ya!” pintanya pada Tami. “Thanks, pasti aku jaga! jawab Tami mantap.
“Tami, aku tau kamu suka sama aku..”
“Wait...wait... apa-apaan ini. Tiba-tiba dia seperti ini,”
“So, boleh kalau aku punya perasaan yang sama denganmu?” Shoot! Kata-kata itu sangat mengejutkan Tami. Bagaikan air dingin yang menyiram kepalanya di tengah hari bolong ini. Tami terbujur kaku. Speechless.
Beberapa menit berlalu. Reno masih memegang punggung Tami yang pada lengan Tami terdapat gantungan hp darinya. Reno menunggu jawaban dari wanita di hadapannya ini. “Tam, gimana? I need your answer, now. Bolehkah,?”
Tami menundukkan kepalanya. “Ehm... iya,” ujarnya sambil membalas tatapan Reno kemudian mengalihkan pandangannya ke tangan mereka berdua yang masih menyatu.

*************************************
Dear Amanda, ini terlalu berat untukku. Mungkin juga bagi kita. Aku tahu hubungan ini gak mungkin bisa kita lanjutkan lagi. Sejak kepergianmu, tak satupun kamu membalas email dari ku. Sudah saatnya aku membuka hati untuk orang lain dan terlebih lagi aku sudah jadian dengan orang lain. Semoga kamu baik-baik saja dimanapun kamu berada. Kamu adalah hal terindah yang pernah aku miliki dalam hidupku. Terimakasih atas segalanya.
Reno selesai mengetik email untuk Amanda. Pacar Reno yang entah kini berada dimana. Amanda meninggalkan Reno lima tahun yang lalu. Dan status mereka belum putus. Mungkin sudah ada ratusan email dalam inbox akun email Amanda. Namun tak satupun Amanda membalasnya.
Di tempat yang berbeda Tami sedang asyik ngobrol di telpon dengan Bianca. “Wah... jadi juga loe pacaran sama Reno. Masih inget gue masa-masa loe mengejar dia. Dari mulai beliin soft drink sehabis dia main basket, ngasih lunch box loe buat dia, dan gue liat waktu loe kena bola karena dia bukannya kesakitan malah mesem-mesem gak jelas,” papar Bianca.
“Hahaha...Aduh, udah deh! Gak usah dibahas yang lalu. Eh, udah dulu ya. Ada telpon masuk ni dari Reno. Bye...”
“Hai...kamu belum tidur?” tanya Reno dari sebrang. “Belum, kamu udah makan? Besok mau aku bawain makan siang?”
“Boleh...
“Menunya?”
“Apa aja terserah kamu. Tidur ya.. udah malam nih! Good night dear, sleep well.”
*************************************
Hari-hari berjalan dengan indah. Reno dan Tami sudah saling memahami satu sama lain. Satu bulan telah mereka jalani bersama. Reno sedang menunggu Tami di bangku lapangan sekolah. “Kalau gue deket Tami gue ngerasa penuh canda dan dia penuh dengan kehebohan yang dibuatnya sendiri. Tapi kalo sama Amanda, dia beda. Manda cewek yang berpikiran dewasa. Kalian berdua memang beda. Dan gue cukup nyaman bila berada di dekat kalian.” Ketika Reno sedang asyik duduk sendiri dengan pikirannya Tami manyun dan meringis kesakitan. “Haduh...sakit. Reno bantuin,”
Reno bergegas ke ruang UKS dan kembali setelah mengambil kotak P3K.
“Kamu sih ada-ada aja. Ngapain coba gabungin kedua tali sepatu kamu diikat bersamaan terus lomba lari?”
“Aku kan mau main aja sama temen-temen. Kalo jatuh gini jadi ingat masa kecil deh.” Reno mengobati luka di lutut Tami. “Pelan-pelan Reno. Sakit nih!” kata Tami sambil manyun. Reno bukannya mengobati Tami dengan hati-hati malah memijat bagian yang terkena luka dengan keras. “Aduh...kamu iseng banget sih!” kata Tami setengah berteriak sambil memukul-mukul lengan Reno. “Hahaha...” Reno terbahak dan mengacak-acak Rambut Tami.
*************************************
Ketika Reno sedang berada di luar rumah ingin menemani Tami hunting novel baru bersamanya. Seorang gadis berambut panjang berkulit putih mengenakan dress kawaii fall summer one piece dengan pita lebar dibagian perut berwarna biru di bagian atas dan putih pada bagian bawah. “Reno...” panggil cewek itu dari dalam mobil. Ia keluar dan menghampiri Reno yang hendak menancap gas motornya. “Reno apa kabar?” sapanya sambil cipika cipiki pada Reno. “Sorry, siapa?” tanya Reno heran. “Ini Amanda, Reno masa kamu gak ngenalin sih?”
“Amanda...” Reno langsung memeluk Amanda dengan erat. “Where have you been? You have never replied my email. I really miss you,”
“Sorry. I forgot my password email . So I couldn’t open it.” ucap Amanda sambil melepas pelukan Reno. “Where are you going? May I go with you ?”
“With pleasure, my dear!”

Ketika berjalan di sebuah mall, handphone Reno berbunyi. Setelah melihat layar kaca Reno agak sedikit kikuk. “Siapa?” tanya Amanda. Angkat aja! Gak usah sungkan.
“Hold on. I’ll be right back.”
“Reno, kamu dimana? Aku udah ada di toko buku.” Reno lupa akan janjinya dengan Tami. “A...a aku lagi di rumah. Lagi gak enak badan. Maaf ya, tiba-tiba aja nih!” jawab Reno terbata-bata.
“Oh, yaudah. Kamu istirahat aja. Nanti aku ke rumah kamu, ya?”
“Nggak usah Tam, aku gak pa-pa kok! Paling cuma demam aja. Besok juga bisa masuk sekolah lagi.” Dalam hati Reno sangat menyesal telah membohongi Tami.

Setelah berjalan begitu lelah mencari buku yang dicari belum ketemu juga, Tami memutuskan untuk pulang. Lagipula hari mulai gerimis mungkin sebentar lagi akan hujan lebat. Ketika ia baru masuk dalam bus yang penuh sesak diantara kerumunan penumpang yang sedang berdiri, diantara mobil yang lalu lalang, dibalik kaca jendela bus yang mengembun samar-samar ia melihat Reno di sebuah ke restaurant bersama seorang wanita yang tak ia kenal. Namun perasaan buruk itu segera ditepisnya. “Ah, gak mungkin itu Reno. Dia kan lagi kurang enak badan,”
*************************************
Pagi-pagi sekali Reno sudah berada di dalam kelas. Tami lari mendahului guru Kimia yang berada di hadapannya sekarang di koridor menuju kelas. Ketika sampai di dalam kelas Tami berbisik keras “Reno, aku pinjam pulsa kamu. Please...” ujarnya sambil mengatupkan kedua tangan. Memohon. Reno berjalan ke tempat duduk Tami. “Kenapa musti pinjam? Aku rela kasih kok buat kamu,” canda Reno pada Tami.
“Oh, iya maksud aku minta. Aku di sms sama Mama ni. Eh, Miss Sarah udah masuk tuh!” sebelum Reno kembali ke tempat duduknya ia mengusap rambut Tami dengan lembut.
Di sela-sela pelajaran Kimia yang menegangkan. Membahas Buffer atau Larutan penyangga. Ketika Tami selesai menghitung campuran pH. Tiba-tiba Hp Reno di saku Tami bergetar, di layar tersebut tertera nama ‘Kawai Princesa’. Ingin Tami membuka isi pesan itu namun ia juga tak ingin mencampuri kehidupan pribadi Reno. “Princesa...? nama ku saja hanya bertuliskan Anantami, penggalan nama depanku. Sebegitu spesialkah wanita ini sampai-sampai disebut Princesa,” ujarnya dalam hati. Hal ini membuat Tami tidak begitu memperhatikan pelajaran yang diterangkan oleh gurunya.

Jam istirahat tiba, Tami memanggil Reno dengan keras tapi percuma Reno mengenakan headset di telinganya mungkin sedang mendengarkan lagu dengan volume keras. Ia ingin mengembalikan ponsel itu padanya. Reno duduk di bangku taman sekolah seorang diri. Tami hanya melihat Reno dari balik sebuah tembok, hal yang biasa ia lakukan saat ia belum menjadi pacar Reno. Namun Reno menyadari keberadaan Tami di sana. “Tami, sini!” panggilnya dengan senyum khasnya. “Ini, makasih ya!” seraya duduk di sebelah Reno dan menyerahkan handphone padanya. “Ada sms masuk,” kata Tami ketika Reno hendak memasukkan ponsel itu ke dalam sakunya. Reno tak jadi memasukkan ponsel dan menekan layar touch screen-nya, Reno sekasual mungkin tak bergeming sembari menaikkan kacamata yang sedikit merosot di hidung mancungnya. Yeah! he has always been cool” ujar Tami dalam hati. “Would you please accompany me to go to a bookstore?”
“Aku... aku gak bisa. Sorry, how about next time?” tawarnya dan segera berlalu tanpa meminta pendapat Tami. Pandangan Tami tak lepas sampai punggung Reno menghilang dari pandangannya.
*************************************
Tami ingin tahu apa yang sedang disembunyikan oleh Reno. Tapi ia benar-benar takut menanyakan hal itu padanya. Pulang sekolah Tami melihat Reno yang sedang mengeluarkan motornya di tempat parkir halaman sekolah. “Reno...” panggil Tami dari kejauhan. Reno menoleh sedikit mencari tahu darimana asal suara berasal. “Apa Reno gak ngeliat aku?” Tami menggigit jempolnya.
“Kenapa loe, Tam? Kok gak pulang bareng Reno?” tanya Bianca.
“Gak tahulah!,”
“Woy... Reno!!” Bianca meneriaki Reno yang pergi begitu saja. Tangan Tami membekap mulut Bianca yang selalu saja berteriak-teriak tak tahu tempat.
“Kayaknya tadi Reno benar-benar liat loe deh!, Kok loe ditinggalin gitu aja ya?”
“Gak tahu, Reno aneh.
“Eh, Tami gue liat kacamata Reno nih ketinggala di meja,” ujar Dafi mengagetkan.
“Oh iya, thanks ya! Kenapa gak langsung kasih ke Reno?”
“Dari tadi gue cari Reno kemana-mana gak ada. Berhubung loe ceweknya, ya gue kasih ke loe aja!”
“Mungkin tadi Reno gak liat gue karna gak pakai kacamata ya?” Tami mencoba menerka.
“Tam Cruise... loe lupa ya? Mata gue kan juga minus tapi gue malas aja pakai kacamata. Emang si Reno itu minus berapa?”
“Minus 1,?” ujarnya bingung. “Gue aja minus 2,5 tapi masih bisa liat. Meskipun samar-samar sih!”
“Yaudah lah, gak usah di bahas. Temenin gue yuk cari novel!” pinta Tami. “Nggak deh, panas bo! Mending gue di rumah, makan siang terus bobok yang nyenyak,. Tami cemberut mendengar tolakan sahabatnya ini. “Please... tapi gue kepengin banget novel itu! Please... nanti gue beliin makan siang plus es krim deh.” rengek tami dengan nada manja. “Tuh, kan loe kalo udah merengek begini bikin gue gak tega. Ok, Let’s go !”
*************************************
“Gak biasanya Reno cuek seperti itu...” Tami masih diselimuti pikiran yang kalut.
“Udah puas non... dapet novelnya?” Bianca merangkul sahabatnya dan terus menjilati es krim yang dijanjikan Tami padanya. “Woy... orang ngomong dikacangin aja!” teriak Bianca membuyarkan lamunan Tami.
Ketika ia menoleh ke arah Bianca, Tami melihat di sebuah toko tak jauh dari tempat mereka berada sekarang ia melihat Reno sedang asyik merangkul gadis berparas cantik, memilihkan boneka untuknya. Pandangan Tami kosong memandang ke luar jendela dan menitikkan air mata. Bianca melambaikan tangan ke wajah Tami, “Tam, Tami loe gak papa kan? Apa gue buat salah sama loe?”
Tanpa membalas pertanyaan dan telah membuat sahabat di depannya ini bingung Tami segera beranjak dari ‘Popsicle’ toko es krim. “Tami loe mau kemana? Di luar hujan. Ah, kelakuan loe suka aneh Tam,”
Tami menerabas hujan yang turun sangat deras dan angin bertiup begitu kencangnya di tengah sore hari ini. Setelah matahari menyinari dengan teriknya siang tadi. Bianca hanya duduk membiarkan Tami pergi begitu saja. Baju Tami basah kuyup sudah teguyur air hujan. Ia menggigit jemarinya kuat-kuat dan meringkuk badannya sendiri karna kedinginan. Di luar toko boneka Tami dengan mudah melihat mereka dari balik kaca. Tami menyentuh kaca jendela toko boneka itu sambil menangis sesenggukan. Layaknya sebuah lagu CN Blue yang berjudul Teardrops in the rain.
Air matanya kini sudah bercampur dengan tetesan bulir bening dingin yang jatuh dari langit. Hujan pun seakan merasakan kesedihan atas apa yang tengah dialami Tami saat ini. Begitu sesak rasanya ia menarik nafas. Amanda memukul ringan Reno dan mereka berdua bercanda riang. Begitu Reno hendak membalas ia menoleh tepat ke arah Amanda dan melihat apa yang seharusnya hal ini tak boleh terjadi. Kini Tami berada tepat di hadapannya sekarang. “What do I do?” ucap Reno dalam bisiknya menahan nafas seakan akan ada sesuatu yang berat membelesak di kerongkongannya. Namun ia adalah Reno, apapun yang terjadi ia tetap bisa bersikap stay cool like nothing happen. Mereka bertatapan cukup lumayan sepersekian detik. Hanya saling menatap satu sama lain. Amanda yang sudah menerka dan bisa mengambil kesimpulan apa yang telah terjadi antara mereka berdua. Ia segera berinisiatif menyuruh Reno agar mengejar Tami begitu melihat gadis itu berlari meninggalkan mereka. “Terus, bagaimana denganmu?” tanya Reno meraih lengan Amanda. Tak tega. “Aku sudah mengira bahwa hal ini akan terjadi. Maaf telah mengacaukan segalanya. Sekarang kejar dia Ren,!
“No, I don’t want to.”
“Why,?”
“Cause I still love you!” ucap Reno ragu.
“No, Reno your heart is only for her. Because just now I saw your eyes say everything although you didn’t say a single word. Chase her, grab her hand and do apologize.”
“I’ll do this for you”
“Don’t do this for me. But do this for your happiness future. She loves you so much more than you know.”
“I’m really sorry, make you dissapointed. I am just useless man!”
“No, you don’t. For me you’re the special one ever!”.
Reno memberikan sebuah kecupan hangat di kening Amanda layaknya kecupan perpisahan dan langsung berlari mengejar Tami yang berada di tengah jalan hendak menyebrang. Ia memegang handphone sedari tadi dan menyadari ternyata gantungan handphone yang diberikan Reno padanya sudah tak ada lagi di tempatnya. Ia berbalik dan melihat gantungan itu berada di tepi jalan. Tami berbalik dan menyebrang balik untuk mengambilnya. Ketika Tami membungkuk untuk meraih gantungan handphone tanpa disadari Tami, ada sebuah mobil besar yang bisa meremukkan badannya saat itu juga. Melihat hal itu Reno langsung mempercepat laju larinya, melangkah lebar dengan kakinya yang panjang. Reno dengan tangkas merengkuh tubuh kecil Tami di hadapannya. “I beg your pardon, please forgive me.. From now on I’ll stand by your side, to protect you. For God sake let me always beside you, no matter what, no matter how. Please hold my promise cause you’ve been filled my heart.” bisik Reno di tengah gemuruh suara hujan dalam bisingnya kendaraan. “I can feel your breath Tami... I can feel your heart is beating so fast. Because you’re so close to me”. Mobil yang bisa saja siap menabrak mereka berdua berdecit mengerem begitu keras. Mereka berdua segera menepi menyebrang melontarkan kata yang cukup kasar di telinga. Reno menutup telinga Tami. Tak ingin gadis itu mendengar olokan dari pengemudi itu.
“You’re silly girl that I’ve ever met.” kata Reno menyeringai.
Tami hanya cemberut tak berkata apa-apa. Mendapati dirinya basah kuyup menggigil seperti ini ia tak tahu harus berbuat apa. Reno segera melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Tami. Gadis itu begitu lelah.
“My Goodness! My whole body aching so badly. Could I borrow your shouler?”
“Sure!”
*************************************
Selang seminggu seteh kejadian itu Reno baru mengetahui kabar bahwa Amanda telah meninggal dunia. Ia tahu hal ini setelah Tami membuka email milik Reno dan memberitahunya.
Aku gak akan menulis panjang lebar. Mungkin kamu membaca e-mail ini setelah aku tiada. Saat itu aku pergi tanpa pamit karena aku mengalami penyakit leukimia. Selama beberapa tahun belakangan ini aku tinggal di kota Praha bersama nenek dan menjalani terapi disana. Aku telah berbohong bahwa aku melupakan pasword email ku. Aku tak ingin ketika nantinya aku meninggal kamu akan bersedih dan tak mau membuka hati pada yang lain. Aku harap hubungan kalian baik-baik saja.
Setelah membaca email dari Amanda, Reno dan Tami menghubungi nomor telepon rumah Amanda yang tertera pada email yang diberikannya.
Reno terpekur lama di samping gundukan tanah yang masih basah. Ia menitikkan air mata, dan beberapa kali memalingkan wajahnya. Tami mafhum bila Reno begitu sedih. Ia memberikan sapu tangannya pada Reno.
“Menangislah, bila kamu ingin melakukannya. Karena itu adalah sebuah kepekaan rasa yang di ciptakan oleh Tuhan.” Tami mencoba menenangkan hati Reno.
Air mata Reno menetes dan menyerap dalam permukaan tanah pekuburan. Tami menghapus air mata yang menetes di pipi Reno. “Jangan basahi tanah ini dengan tangisanmu. Ini hanya akan membuat Amanda tak bahagia disana.”
Tami dan Reno pulang dengan hati yang tenang. Mereka bergandengan tangan di bawah sinar matahari yang mulai tertutup awan gelap diselimuti angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting dedaunan.

Mozaik Kehidupan

Aku sedang mematut diri di depan cermin ketika kakak ku-Aldi yang sedang memandikan si bungsu berteriak. “Rangga... cepat bantu kakak kemari!” teriak kakak ku. “Ada apa kak?” tanya ku sambil tergopoh-gopoh. “Tolong belikan sabun baby buat adikmu ini”. Aku mengangguk dan segera pergi. Aku terlahir dari tiga bersaudara. Ibuku tak pernah memedulikan kami semenjak Ayah meninggalkan kami. Tak tahu ia pergi kemana. Aku pun tak ambil pusing. Ibu sehari hari hanya diam di rumah menonton tv, tidur, marah dan teriak-teriak begitu saja kerjanya. Aku di didik oleh kakak ku. Beliau mengajarkan banyak hal tentang hidup. Aldina Ramadhani namanya, nama yang indah bukan? Orang-orang memanggilnya Aldi. Mungkin karena ia tomboy, berpakaian layaknya seperti anak lelaki. Itulah sebabnya orang memangilnya demikian. Kemeja atau kaos bergambar yang kerap kali dikenakannya, sepatu kets dekil yang mungkin hanya beberapa kali dalam setahun di cucinya, dan topi biru bergambar kepala kelinci playboy bertengger. Di samping itu, Kakak sangat cerdas di bidang sastra. Ia masih duduk di kelas tiga SMA. Ia sangat menyenangi puisi dan cerpen. Ia mendapat beasiswa di sekolahnya karena memenangkan lomba puisi.
Setelah aku kembali dari warung dan memberikan sabun itu padanya, aku memperhatikan kakak ku sangat menyayangi adik kecil itu. Ia begitu manja bercanda dengan kakak. Kakak ku tersenyum simpul padaku “Kenapa diam aja, sini lah bantu!” ajaknya padaku. Aku masih bergeming hanya diam di tempat. “Kakak...” panggil Nisa si bungsu tangannya hendak memegang lenganku. Aku mengelak menepis tangannya. Annisa Putri namanya, sedang di handuki oleh kakakku, dipakaikan bedak yang wangi. Dia memang cantik secantik namanya. “Kamu jangan seperti itu gak baik. Dia kan masih kecil.” Aku tak menghiraukan omongan kakak. Semenjak ia lahir semua perhatiannya hanya tercurah pada si bungsu kecil itu.
***

Puisi itu berjudul surga-mu.

Ibu tak tahu bagaimana ku harus membalas jasamu
Ku diizinkan menghirup udara-Nya
Meskipun tak mendapat belas kasih sayangmu
Tapi ku tetap bersyukur pada-Nya
Meskipun teriakan itu membuatku perih mengiris pilu
Makianmu membuatku ngilu
Tersayat dalam sepi, tercabik dalam kelu...
Ku resapi makna yang terkandung di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya. Ku gigit bibirku berusaha menahan air mataku, karena kata kakak ia tak suka pria menangis. Dulu sewaktu kecil aku terjatuh dari sepeda. Karena begitu sakit aku menagis sejadinya. Kakak memelukku dengan tubuh kurusnya. Sementara ibu hanya merutukku dengan kata-kata pedasnya. “Dasar anak goblok! Siapa suruh bandel.” umpatnya sambil menoyor kepalaku dan berlalu pergi. -“Pria yang tegar tak akan menunjukkan air matanya di depan siapapun. Apapun yang terjadi, janganlah menangis. Berusaha tetap tegar meskipun itu terasa begitu sakit.” tuturnya saat itu lembut, tangannya yang kasar menyeka air mataku dengan perlahan. Ku tutup lembaran buku itu. Tak tahan aku membacanya. Selama ini tak pernah ku tahu bahwa kakak merasa amat sedih dalam hatinya. Namun ia tak pernah mengeluh. Tak pernah membagi kepedihannya padaku atau sekedar meminjam bahuku untuk menghangatkan hatinya. Ia memang wanita yang tegar. Dalam lamunannya, Rangga mendengar suara pintu diketuk dari luar. “Siapa...?” sapa Rangga dari dalam rumah setengah berlari. “Dina ada?” tanya pria itu. Begitu api berangkat ke sekolah. Senyumnya yang ramah dan bersahaja. “Kak Dina nya udah berangkat dari tadi tuh! Lu telat sih datengnya. Mau jemput kak Dina kan?” jawabku selengean padanya. Lelaki yang sekelas dengan kakak ku itu hanya tertawa renyah. “Ya sudah kalau begitu aku pamit dulu ya!.” Lelaki sederhana nan ramah itu pamit setelah mengucapkan salam.

***
“Ikaz, nanti sore boleh gak gue pinjem komputer mu?”
“Boleh, memangnya buat apa?”
“Buat ngetik cerpen-cerpen ku. Tapi nanti adik ku, si Rangga yang ngetik. Hehe.. soalnya kalau aku yang ngetik lama banget.”
“Aku aja yang ngetik, gimana? Emm..Boleh aku lihat ceritanya?” Aldi merogoh tasnya mencari buku kumpulan cerpen dan puisinya dan menyerahkan pada Rangga.
“Wah banyak juga ya cerpennya. Nanti aku aja yang ngetik,”
“Gak usah Kaz, masa aku pinjem komputer kamu tapi kamu juga yang ngetik,”
“Oh ya sudah terserah kamu aja.” ujarnya datar. “Makasih banyak ya,” ucap Aldi seraya menundukkan kepalanya, “Kamu mau masuk kelas?” tanyanya. “Nggak, aku mau ke kantin dulu. Kamu ke kelas saja duluan.”
Di dalam kelas Aldina mengantuk dan membenamkan kepalanya di tangannya yang dilipat di meja. Ikaz memperhatikannya dengan penuh rasa iba. Bagaimana tidak, dia seorang diri bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sore hari Rangga, adik Aldi mendatangi rumah Ikaz. Ikaz sedang duduk di teras depan rumahnya sudah menunggu setengah jam kedatangan Rangga. Ikaz mempersilahkan Rangga masuk ke dalam rumahnya dan segera menuju ruang komputer dikamarnya. “Silahkan pake Ngga, aku keluar dulu ambil minuman dan makanan ringan”.
“Gak usah repot-repot kak, gue kan jadi enak ni. Hehe,” Rangga memandang ke sekeliling ruang kamar begitu Ikaz meninggalkannya sendirian. Ikaz tipikal cowok yang rapih dan bersih. Sederhana namun tetap mengandung kesan khas kamar cowok. Matanya tertuju pada dua lembar foto yang terselip di buku. Ia mengambilnya. Yang satu foto sedang membaca puisi pada saat perlombaan dan yang satunya lagi fotonya sedang menambal ban motor di bengkel. Begitulah pekerjaan Aldi pagi hari sebelum berangkat ke sekolah mengantar koran. Sepulang sekolah langsung ke bengkel. “Udah gue duga dia suka sama kak Aldi,” gumamnya pelan. Ia cepat-cepat balik duduk di depan komputer sebelum Ikaz mengetahui dirinya sedang berbuat tidak sopan di kamar orang.
Rangga segera pamit setelah melihat jam dinding di kamar Ikaz meunjukkan pukul sembilan malam. Aldi sudah menunggunya di depan rumah Ikaz. Ia berterimaksih sebanyak-banyaknya pada Ikaz. “Perasaan kakak gak enak ni,Ga.” ucap Aldi di boncengan belakang sepeda. “Gak enak kenapa sih kak...?” tanyanya heran. “Udah deh cepetan ngebut. Gue mau cepet-cepet sampe rumah.” Tanpa bertanya apa-apa lagi Rangga mengayuh sepedanya dengan kencang.
“Ga..Ga berhenti dulu deh sebentar.” Aldi menepuk punggung Rangga. “Ada apa sih kak? Tadi katanya mau buru-buru pulang,” ujar Rangga agak jengkel. Mereka berhenti di depan sebuah toko sepatu yang di depannya terpajang sepatu hak tinggi berwarna hitam pekat berhiasi bunga di atasnya. Aldi turun dari sepeda dan memperhatikannya dengan seksama. “Kenapa kak, mau beli sepatu gituan?”
“Nggak. Sepatunya bagus ya Ga. Nanti kalau Nisa udah gede kamu harus beli sepatu ini untuknya.”
“Nisa lagi... Nisa lagi... buat apa gue beliin dia?” Rangga mendengus pelan.
Sesampainya mereka di rumah mendengar suara yangisan Nisa dari dalam rumah. Aldi setengah berlari menuju kedalam. Dilihatnya Nisa sedang teriak-teriak menangis sesenggukan. Aldi segera menggendong Nisa dalam pelukannya. Mendiami adiknya. Ia melihat luka bekas sundutan rokok di lengan kiri atas Nisa dan melihat masih ada lagi di belakang badannya. “Mama apa-apaan sih!!!?” bentak Aldi pada mamanya. “Heh, anak kecil berani-beraninya lu bentak gue!” balas Mama tak kalah gusar “Baru kerja begitu aja udah belagu lu, gimana nanti jadi orang besar. Jadi direktur, bisa-bisa gue diusir dari rumah.”
“Bukan masalah itu mah, kali ini Mama udah kelewatan karena udah kesekian kalinya melakukan ini! Mama tuh mikir gak sih?!!” –Plak, satu tamparan mengenai wajah Aldi. Mata Aldi terasa panas. Bendungan air matanya mau jatuh begitu saja bila ia tidak menahannya kuat-kuat. Ia menggigit bibir menahan perih di dada. Begitu perih memang tapi hal itu tak sebanding dengan beberapa bekas sundutan rokok yang memerah perih di tubuh Nisa. “Mana jatah uang rokok buat gue hari ini?” todong Mama pada Aldi. “Gak ada!” tukasnya “Ga, ni duit kamu beli obat luka bakar.” seru Aldi pada Rangga yang sedari tadi hanya diam di belakang. Nisa masih sesenggukan di pelukan Aldi. Mungkin yang dirasakannya sangat sakit. “Dasar anak goblok gak berguna! Nyari duit gitu aja gak becus,” umpatnya seraya menutup pintu masuk ke kamar.

Entah mengapa Ibunya bersikap seperti itu semenjak ayahnya pergi entah kemana dan ibunya mengandung Nisa. Sikapnya kian berubah menjadi sangat tidak peduli kepada keluarga. Sangat kasar. Makian, umpatan, dan rutukan seringkali dilontarkan kepada anak-anaknya. Sewaktu ibunya menghamili Nisa berkali-kali ia mencoba menggugurkan kandungannya. Mulai dari makan nanas muda, minum jamu khusus untuk menggugurkan kandungan, sampai mencoba kuret di dukun beranak. Namun hal itu gagal karena Aldi selalu mencegahnya. Aldi mencegah dengan segala cara. Ia memohon pada ibunya agar tidak melakukan hal itu sampai ia berlutut menangis sesenggukan di kaki ibunya. Aldi sangat senang mempunyai adik, terlebih lagi ketika lahir ternyata berjenis kelamin perempuan. Ia senang bukan kepalang. Ia tidak pernah tahu apa sebab ibunya begitu bersikeras menggugurkan kandungan saat itu. Ia tak mau ambil pusing. Di benaknya hanya bagaimana caranya sang adik bisa lahir dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Mungkin ia pikir satu-satunya alasan ibunya berbuat senekat itu karena masalah ekonomi.
***
Suatu pagi yang masih diselimuti awan gelap. Suasana dingin masih menyergap di udara. Membuat orang-orang enggan beranjak dari mimpi indahnya. Bening embun masih menempel di dedaunan seakan tak ingin terik matahari menyerap kelembabannya. Aldi memulai aktifitasnya seperti biasa di minggu pagi. Ketika sedang berkeliling komplek mengantarkan koran. Tiba-tiba Ikaz muncul mensejajari kayuhan sepeda Aldi di sebuah jalan komplek yang masih sangat sepi hanya bunyi jangkrik yang menemani mereka.
“Ikaz, sendiri aja?” tanya Aldi lumayan terkejut meyadari ada Ikaz di sisinya. “Ngga, kan sama kamu,”. Mendegar jawaban seperti itu Aldi hanya tersenyum simpul mengulum. Aldi mengerem sepedanya berhenti di rumah sederhana yang lampunya masih gelap.
“Sini, biar ku bantu,” tawarnya pada Aldi.
“Ngga papa kok, aku bisa sendiri. Ntar ngerepotin lagi.”
“Lho, buat apa aku disini kalo gak bantu kamu,”
Aldi mengangguk pelan dan menyerahkan separuh koran pada Ikaz yang akan di bagikan ke rumah-rumah. Ikaz melempar koran pada rumah sederhana nan asri itu.
Di tengah perjalanan mereka saling main tebak-tebakan. Tertawa terbahak-bahak. Terbaca jelas di wajah Aldi terasa tanpa beban dan persoalan seakan-akan menguap begitu saja. Ikaz senang melihat guratan senyum Aldi yang merekah. Mereka berdua berteman sejak kecil dan jarak antara rumah keduanya begitu dekat. Sewaktu taman kanak-kanak Aldi dan Ikaz sekelas akan tetapi ketika mereka lulus keduanya bersekolah di sekolah yang berbeda dan mereka baru akrab kembali semenjak keduanya bersekolah di SMA yang sama.
“Kita makan dulu yuk,” ajak Ikaz pada Aldi.
“Boleh. Dimana?”
“Itu di warung nasi uduknya bu Aisyah”
“Oia, cuma dia kan yang buka jam enam gini”
“Ayo kita balapan. Siapa yang sampai di tempat duluan, dia yang traktir makan. Gimana?” tawar Aldi.
“Setuju,” angguk Ikaz.
Setelah Ikaz setuju, Aldi segera melesat mengayuh sepedanya dengan kencang.

Akhirnya yang tiba lebih dulu adalah Aldi. Bukan karena ia tidak bisa membalap Aldi tapi ia sengaja memperlambat laju sepedanya. Lagipula ia tak tega bila gadis itu membayarnya makan. Ia tahu benar kondisi keuangan Aldi. Begitu tiba Aldi langsung berseru. “Kamu kalah...” Ikaz hanya membalas dengan senyuman.

“Nanti habis lulus mau lanjut kuliah dimana Kaz?” tanya Aldi di sela makannya.
“Belum tau, kamu?”
“Yah.. kamu tau aku kan Kaz?” ucapnya pelan. Mau ambil jurusan apa Kaz? tanyanya kemudian.
“Aku mau ambil kedokteran kalau gak dapat ya ambil biologi saja,”
“Aku yakin kamu bisa kok ambil kedoketeran!” Aldi meyakinkan.
“Makasih ya. Kalau kamu ada kesempatan kuliah mau ambil apa? Pasti sastra Indonesia ya? Tapi bahasa Inggrismu bagus juga kok,”
“Em... sepertinya sastra indonesia.” ucapnya mantap.
***
Larut malam yang begitu dingin ditemani bintang yang menggayut manis di atas langit serta bulan penuh yang setia menemani. Aldi duduk termangu menatap selembar formulir perlombaan melukis. Ia belum mengantuk sengaja menunggu mamanya yang tak kunjung pulang. Rangga yang mendapati kakaknya belum tidur bertanya. “Kak, belum tidur?”
“Belum, nunggu Mama.”
“Sini biar aku yang gantiin. Kan besok kakak harus nganter koran pagi-pagi.”
“Udah gak apa-apa. Kamu lanjutin tidur aja sana.”

Keesokan harinya dan di hari-hari berikutnya sang mama memang tak pulang, mungkin juga tak akan pernah pulang lagi. Aldi begitu rindu pada Ibunya. Hampir setiap malam ia tidak tidur di kamarnya. Setelah meninabobokan adiknya ia menunggui ibunya di ruang depan. Berharap sang ibu datang. Tak peduli sekasar dan sekejam apa perlakuan ibu padanya ia tetap setia menunggu. Hingga setiap hari Aldi harus mencuri waktu tidur di saat jam istirahat sekolah. Sejak saat itu Nisa harus di titipkan kepada orang tua Ikaz. Orang tua Ikaz sendiri yang menginginkannya. Karena Ikaz merupakan anak tunggal yang tak punya satu saudara kandung pun.
Hari perlombaan pun tiba. Aldi tak bisa mengantar adiknya yang akan berlomba. Ia meminta Ikaz untuk mengantar Rangga ke tempat lomba melukis itu. Ia pun sengaja tak memberitahu Rangga bahwa dirinya diikutsertakan dalam lomba. Aldi ingin membuat kejutan kecil pada adiknya. Sebab ia yakin Aldi tak perlu bersusah payah mengasah kemampuannya lagi. Karena hasil lukisannya memang sangat begtiu indah. Rangga dapat menggambar sketsa secepat mungkin dan dengan hasil yang cukup bagus. Suatu kali ia pernah dipuji oleh pelukis jalanan yang menjajakan untuk membuat sketsa atau siluet. Pujian itu ia dapat saat mengikuti LDK di Bogor. Ia menggambar sketsa sebuah potret kota Bogor. Dimana di sisinya terdapat kebun raya dan hiruk pikuk pedagang kaki lima. Di saat teman-temannya sibuk tawar-menawar kepada para pedagang membawa buah tangan untuk keluarganya ia sibuk mengerjakan sketsanya. Pada saat itu Rangga menceritakan hal itu dengan penuh semangat.
Rangga begitu tekun mengerjakan lukisannya. Ia tak ingin membuat kecewa yang sudah bersusah payah untuknya. Sementara Ikaz melajukan sepedanya untuk menjemput Aldi. Belum seperempat perjalanan tampak Aldi sedang mengayuh sepedanya, ia melihat Aldi sedang mengayuh sepedanya tak begitu kencang. Kenyataan kadang memang begitu menyakitkan. Ia datang tanpa diduga menyeloroh masuk ke dalam ruang lingkup kehidupan. Yang sebelumnya bahagia senantiasa berubah menjadi penderitaan. Mungkin pula lebih pahi dari yang sebelumnya. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kencangnya menubruk sepeda Aldi hingga rusak parah dan jasadnya terbujur kaku bersimbah darah. Ikaz melihat itu semua. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang yang selama ini dikasihinya, teman bermainnnya sewaktu kecil menjemput ajalnya dengan sangat tragis. Ironis memang. Tapi itulah suatu kenyataan yang mana tak bisa diterka ataupun dihindari.
***
Kehidupan harus terus berjalan. Selang belasan tahun kemudian. Rangga dan Nisa berjalan bersama menuju pemakaman kakaknya. Nisa mengenakan sepatu hak tinggi. Sepatu itu diberikan oleh Rangga sebagai janji pada kakaknya sewaktu beliau masih hidup. Mereka membawa setangkai bunga yang cantik dan beberapa majalah. Majalah yang memuat beberapa karya cerpen Aldi. Rangga mengetik semua naskah sang kakak dan mengirimnya ke beberapa media cetak. Hasilnya sungguh memuaska. Cerpen hasil karya Aldi beserta puisi-puisinya disambut hangat dan ia mendapat bayaran atas semua itu. Kebahagiaan itu datang dengan begitu menyedihkan di saat pemilik naskah tersebut sudah tiada. Selalu ada rangkaian bunga yang lebih cantik daripada yang mereka bawa setiap tahunnya di hari sepeninggal kakaknya. Rangga tahu siapa orang yang menaruhnya. Rangga tak pernah menangis setiap kali ia ke pemakaman. Karena ia tahu hal itu hanya akan membuat sedih kakaknya disana. Ketika ia menyapukan pandangannya di pemakaman, seorang pria mengenakan jubah putih hendak meninggalkan pemakaman. Rangga melambaikan tangannya dan menyuruhnya mendekat. Mereka berjongkok di pemakaman bertiga. Ikaz memperhatikan lengan baju Nisa yang tersingkap oleh angin dan terlihat bekas luka. Ikaz menatapnya dengan heran dan Nisa mengetahui hal itu. Ia segera berlari pulang.
“Itu bekas luka waktu dia masih kecil.” Rangga membuka kebekuan diantara mereka. “Karena apa?” tanya Ikaz penasaran.


“Mama dulu sering menyundutnya dengan rokok bila dia nangis. Kasihan dia tumbuh dengan rasa malu. Banyak bekas luka yang terdapat di lengannya.
Gimana dengan kakak, sudah jadi dokter sekarang?”

“Hmm.. Iya. Tapi seseorang yang ingin menjadi diriku seperti ini sudah tiada. Dulu sewaktu kecil Dina pernah bilang kalau ia ingin suatu hari menikah dengan seorang dokter. Meskipun itu hanya keinginan konyol anak kecil. Tapi kini aku bisa membuktikannya.” Ikaz tersenyum kecut menahan genangan air di matanya.

“Kakak gak menikah?” tanya Rangga tiba-tiba.

“Apa boleh bila adikmu aku bawa ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan bekas lukanya.” terlihat jelas Ikaz mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Lalu aku harus bayar dengan apa ? Seorang pelukis jalanan sepertiku ini mana sanggup untuk membiayai segalanya.”
“Biar kakak yang membantumu membiayai semuanya. Bukankah Dina sangat mencintai adik perempuannya? Ia sudah tumbuh begitu cantik.”
“Dia... dia bukan saudara kandung kami.” Ujar Rangga datar. “Maksudmu?” tanya Ikaz tak mengerti.
Rangga menjambak pelan rambutnya. Seperti orang yang frustasi ia menuturkan sebuah kenyataan yang begitu pahit pada pria di hadapannya. “Aku tak akan mungkin lupa kejadian hari itu.Hari itu pulang sekolah, aku melihat seorang laki-laki sedang berbuat tidak senonoh pada Ibu kami Setelah hari itu Ibu mulai muntah-muntah dan hamil. Aku menyembunyikan hal itu pada kakak. Aku gak ngerti apakah kakak mengetahui Nisa adik kandungnya atau bukan. Kejadian itu tak beberapa lama setelah Ayah meninggalkan kami. Mungkin kakak menyadarinya itu adalah hasil dari Ibu dan Ayah. Tapi mungkin juga ilmu biologi yang ia dapat di sekolah belum sampai ke bab reproduksi. Sehingga ia belum mengerti apa-apa. “
“Kamu menutupinya selama ini dan sekarang menyibak semuanya di gundukan makam Dina.”
“Ya... semuanya sudah terlambat dan tak ada yang perlu di sesali. Sekarang yang terpenting adalah menjaga Nisa dengan baik. Seperti apa yang kak Aldi lakukan dulu padanya.” Rangga berusaha bijak. Ikaz merangkul pundak Rangga. Ia tak menyangka pria yang di sebelahnya ini sudah tumbuh begitu dewasa dalam menyikapi kehidupan.
“Kak... menikahlah. Carilah wanita yang sanggup mencintaimu dengan sepenuh hati. Jangan pernah mencoba mencari sesosok wanita di bawah bayang kak Aldi. Karena hal itu tak akan pernah ada. Meskipun ia telah tiada tetapi ia tetap hidup di dalam hati kita semua. Semangatnya, kekuatannya, dan kegigihannya masih menyertai langkah kehidupan kita dalam menjalani hidup.”
Ikaz meresapi kata-kata yang terucap tulus penuh makna dari Rangga. Ia menitikkan air matanya yang sudah tak bisa lagi di bendung.Dadanya sesak dan kepalanya pening akan memori-memori yang pernah ia lalui bersama wanita yang ia cintai sedari kecil.