Setelah aku kembali dari warung dan memberikan sabun itu padanya, aku memperhatikan kakak ku sangat menyayangi adik kecil itu. Ia begitu manja bercanda dengan kakak. Kakak ku tersenyum simpul padaku “Kenapa diam aja, sini lah bantu!” ajaknya padaku. Aku masih bergeming hanya diam di tempat. “Kakak...” panggil Nisa si bungsu tangannya hendak memegang lenganku. Aku mengelak menepis tangannya. Annisa Putri namanya, sedang di handuki oleh kakakku, dipakaikan bedak yang wangi. Dia memang cantik secantik namanya. “Kamu jangan seperti itu gak baik. Dia kan masih kecil.” Aku tak menghiraukan omongan kakak. Semenjak ia lahir semua perhatiannya hanya tercurah pada si bungsu kecil itu.
***
Puisi itu berjudul surga-mu.
Ibu tak tahu bagaimana ku harus membalas jasamu
Ku diizinkan menghirup udara-Nya
Meskipun tak mendapat belas kasih sayangmu
Tapi ku tetap bersyukur pada-Nya
Meskipun teriakan itu membuatku perih mengiris pilu
Makianmu membuatku ngilu
Tersayat dalam sepi, tercabik dalam kelu...
Ku resapi makna yang terkandung di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya. Ku gigit bibirku berusaha menahan air mataku, karena kata kakak ia tak suka pria menangis. Dulu sewaktu kecil aku terjatuh dari sepeda. Karena begitu sakit aku menagis sejadinya. Kakak memelukku dengan tubuh kurusnya. Sementara ibu hanya merutukku dengan kata-kata pedasnya. “Dasar anak goblok! Siapa suruh bandel.” umpatnya sambil menoyor kepalaku dan berlalu pergi. -“Pria yang tegar tak akan menunjukkan air matanya di depan siapapun. Apapun yang terjadi, janganlah menangis. Berusaha tetap tegar meskipun itu terasa begitu sakit.” tuturnya saat itu lembut, tangannya yang kasar menyeka air mataku dengan perlahan. Ku tutup lembaran buku itu. Tak tahan aku membacanya. Selama ini tak pernah ku tahu bahwa kakak merasa amat sedih dalam hatinya. Namun ia tak pernah mengeluh. Tak pernah membagi kepedihannya padaku atau sekedar meminjam bahuku untuk menghangatkan hatinya. Ia memang wanita yang tegar. Dalam lamunannya, Rangga mendengar suara pintu diketuk dari luar. “Siapa...?” sapa Rangga dari dalam rumah setengah berlari. “Dina ada?” tanya pria itu. Begitu api berangkat ke sekolah. Senyumnya yang ramah dan bersahaja. “Kak Dina nya udah berangkat dari tadi tuh! Lu telat sih datengnya. Mau jemput kak Dina kan?” jawabku selengean padanya. Lelaki yang sekelas dengan kakak ku itu hanya tertawa renyah. “Ya sudah kalau begitu aku pamit dulu ya!.” Lelaki sederhana nan ramah itu pamit setelah mengucapkan salam. Ku diizinkan menghirup udara-Nya
Meskipun tak mendapat belas kasih sayangmu
Tapi ku tetap bersyukur pada-Nya
Meskipun teriakan itu membuatku perih mengiris pilu
Makianmu membuatku ngilu
Tersayat dalam sepi, tercabik dalam kelu...
***
“Ikaz, nanti sore boleh gak gue pinjem komputer mu?”
“Boleh, memangnya buat apa?”
“Buat ngetik cerpen-cerpen ku. Tapi nanti adik ku, si Rangga yang ngetik. Hehe.. soalnya kalau aku yang ngetik lama banget.”
“Aku aja yang ngetik, gimana? Emm..Boleh aku lihat ceritanya?” Aldi merogoh tasnya mencari buku kumpulan cerpen dan puisinya dan menyerahkan pada Rangga.
“Wah banyak juga ya cerpennya. Nanti aku aja yang ngetik,”
“Gak usah Kaz, masa aku pinjem komputer kamu tapi kamu juga yang ngetik,”
“Oh ya sudah terserah kamu aja.” ujarnya datar. “Makasih banyak ya,” ucap Aldi seraya menundukkan kepalanya, “Kamu mau masuk kelas?” tanyanya. “Nggak, aku mau ke kantin dulu. Kamu ke kelas saja duluan.”
Di dalam kelas Aldina mengantuk dan membenamkan kepalanya di tangannya yang dilipat di meja. Ikaz memperhatikannya dengan penuh rasa iba. Bagaimana tidak, dia seorang diri bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sore hari Rangga, adik Aldi mendatangi rumah Ikaz. Ikaz sedang duduk di teras depan rumahnya sudah menunggu setengah jam kedatangan Rangga. Ikaz mempersilahkan Rangga masuk ke dalam rumahnya dan segera menuju ruang komputer dikamarnya. “Silahkan pake Ngga, aku keluar dulu ambil minuman dan makanan ringan”.
“Gak usah repot-repot kak, gue kan jadi enak ni. Hehe,” Rangga memandang ke sekeliling ruang kamar begitu Ikaz meninggalkannya sendirian. Ikaz tipikal cowok yang rapih dan bersih. Sederhana namun tetap mengandung kesan khas kamar cowok. Matanya tertuju pada dua lembar foto yang terselip di buku. Ia mengambilnya. Yang satu foto sedang membaca puisi pada saat perlombaan dan yang satunya lagi fotonya sedang menambal ban motor di bengkel. Begitulah pekerjaan Aldi pagi hari sebelum berangkat ke sekolah mengantar koran. Sepulang sekolah langsung ke bengkel. “Udah gue duga dia suka sama kak Aldi,” gumamnya pelan. Ia cepat-cepat balik duduk di depan komputer sebelum Ikaz mengetahui dirinya sedang berbuat tidak sopan di kamar orang.
Rangga segera pamit setelah melihat jam dinding di kamar Ikaz meunjukkan pukul sembilan malam. Aldi sudah menunggunya di depan rumah Ikaz. Ia berterimaksih sebanyak-banyaknya pada Ikaz. “Perasaan kakak gak enak ni,Ga.” ucap Aldi di boncengan belakang sepeda. “Gak enak kenapa sih kak...?” tanyanya heran. “Udah deh cepetan ngebut. Gue mau cepet-cepet sampe rumah.” Tanpa bertanya apa-apa lagi Rangga mengayuh sepedanya dengan kencang.
“Ga..Ga berhenti dulu deh sebentar.” Aldi menepuk punggung Rangga. “Ada apa sih kak? Tadi katanya mau buru-buru pulang,” ujar Rangga agak jengkel. Mereka berhenti di depan sebuah toko sepatu yang di depannya terpajang sepatu hak tinggi berwarna hitam pekat berhiasi bunga di atasnya. Aldi turun dari sepeda dan memperhatikannya dengan seksama. “Kenapa kak, mau beli sepatu gituan?”
“Nggak. Sepatunya bagus ya Ga. Nanti kalau Nisa udah gede kamu harus beli sepatu ini untuknya.”
“Nisa lagi... Nisa lagi... buat apa gue beliin dia?” Rangga mendengus pelan.
Sesampainya mereka di rumah mendengar suara yangisan Nisa dari dalam rumah. Aldi setengah berlari menuju kedalam. Dilihatnya Nisa sedang teriak-teriak menangis sesenggukan. Aldi segera menggendong Nisa dalam pelukannya. Mendiami adiknya. Ia melihat luka bekas sundutan rokok di lengan kiri atas Nisa dan melihat masih ada lagi di belakang badannya. “Mama apa-apaan sih!!!?” bentak Aldi pada mamanya. “Heh, anak kecil berani-beraninya lu bentak gue!” balas Mama tak kalah gusar “Baru kerja begitu aja udah belagu lu, gimana nanti jadi orang besar. Jadi direktur, bisa-bisa gue diusir dari rumah.”
“Bukan masalah itu mah, kali ini Mama udah kelewatan karena udah kesekian kalinya melakukan ini! Mama tuh mikir gak sih?!!” –Plak, satu tamparan mengenai wajah Aldi. Mata Aldi terasa panas. Bendungan air matanya mau jatuh begitu saja bila ia tidak menahannya kuat-kuat. Ia menggigit bibir menahan perih di dada. Begitu perih memang tapi hal itu tak sebanding dengan beberapa bekas sundutan rokok yang memerah perih di tubuh Nisa. “Mana jatah uang rokok buat gue hari ini?” todong Mama pada Aldi. “Gak ada!” tukasnya “Ga, ni duit kamu beli obat luka bakar.” seru Aldi pada Rangga yang sedari tadi hanya diam di belakang. Nisa masih sesenggukan di pelukan Aldi. Mungkin yang dirasakannya sangat sakit. “Dasar anak goblok gak berguna! Nyari duit gitu aja gak becus,” umpatnya seraya menutup pintu masuk ke kamar.
Entah mengapa Ibunya bersikap seperti itu semenjak ayahnya pergi entah kemana dan ibunya mengandung Nisa. Sikapnya kian berubah menjadi sangat tidak peduli kepada keluarga. Sangat kasar. Makian, umpatan, dan rutukan seringkali dilontarkan kepada anak-anaknya. Sewaktu ibunya menghamili Nisa berkali-kali ia mencoba menggugurkan kandungannya. Mulai dari makan nanas muda, minum jamu khusus untuk menggugurkan kandungan, sampai mencoba kuret di dukun beranak. Namun hal itu gagal karena Aldi selalu mencegahnya. Aldi mencegah dengan segala cara. Ia memohon pada ibunya agar tidak melakukan hal itu sampai ia berlutut menangis sesenggukan di kaki ibunya. Aldi sangat senang mempunyai adik, terlebih lagi ketika lahir ternyata berjenis kelamin perempuan. Ia senang bukan kepalang. Ia tidak pernah tahu apa sebab ibunya begitu bersikeras menggugurkan kandungan saat itu. Ia tak mau ambil pusing. Di benaknya hanya bagaimana caranya sang adik bisa lahir dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Mungkin ia pikir satu-satunya alasan ibunya berbuat senekat itu karena masalah ekonomi.
***
Suatu pagi yang masih diselimuti awan gelap. Suasana dingin masih menyergap di udara. Membuat orang-orang enggan beranjak dari mimpi indahnya. Bening embun masih menempel di dedaunan seakan tak ingin terik matahari menyerap kelembabannya. Aldi memulai aktifitasnya seperti biasa di minggu pagi. Ketika sedang berkeliling komplek mengantarkan koran. Tiba-tiba Ikaz muncul mensejajari kayuhan sepeda Aldi di sebuah jalan komplek yang masih sangat sepi hanya bunyi jangkrik yang menemani mereka.
“Ikaz, sendiri aja?” tanya Aldi lumayan terkejut meyadari ada Ikaz di sisinya. “Ngga, kan sama kamu,”. Mendegar jawaban seperti itu Aldi hanya tersenyum simpul mengulum. Aldi mengerem sepedanya berhenti di rumah sederhana yang lampunya masih gelap.
“Sini, biar ku bantu,” tawarnya pada Aldi.
“Ngga papa kok, aku bisa sendiri. Ntar ngerepotin lagi.”
“Lho, buat apa aku disini kalo gak bantu kamu,”
Aldi mengangguk pelan dan menyerahkan separuh koran pada Ikaz yang akan di bagikan ke rumah-rumah. Ikaz melempar koran pada rumah sederhana nan asri itu.
Di tengah perjalanan mereka saling main tebak-tebakan. Tertawa terbahak-bahak. Terbaca jelas di wajah Aldi terasa tanpa beban dan persoalan seakan-akan menguap begitu saja. Ikaz senang melihat guratan senyum Aldi yang merekah. Mereka berdua berteman sejak kecil dan jarak antara rumah keduanya begitu dekat. Sewaktu taman kanak-kanak Aldi dan Ikaz sekelas akan tetapi ketika mereka lulus keduanya bersekolah di sekolah yang berbeda dan mereka baru akrab kembali semenjak keduanya bersekolah di SMA yang sama.
“Kita makan dulu yuk,” ajak Ikaz pada Aldi.
“Boleh. Dimana?”
“Itu di warung nasi uduknya bu Aisyah”
“Oia, cuma dia kan yang buka jam enam gini”
“Ayo kita balapan. Siapa yang sampai di tempat duluan, dia yang traktir makan. Gimana?” tawar Aldi.
“Setuju,” angguk Ikaz.
Setelah Ikaz setuju, Aldi segera melesat mengayuh sepedanya dengan kencang.
Akhirnya yang tiba lebih dulu adalah Aldi. Bukan karena ia tidak bisa membalap Aldi tapi ia sengaja memperlambat laju sepedanya. Lagipula ia tak tega bila gadis itu membayarnya makan. Ia tahu benar kondisi keuangan Aldi. Begitu tiba Aldi langsung berseru. “Kamu kalah...” Ikaz hanya membalas dengan senyuman.
“Nanti habis lulus mau lanjut kuliah dimana Kaz?” tanya Aldi di sela makannya.
“Belum tau, kamu?”
“Yah.. kamu tau aku kan Kaz?” ucapnya pelan. Mau ambil jurusan apa Kaz? tanyanya kemudian.
“Aku mau ambil kedokteran kalau gak dapat ya ambil biologi saja,”
“Aku yakin kamu bisa kok ambil kedoketeran!” Aldi meyakinkan.
“Makasih ya. Kalau kamu ada kesempatan kuliah mau ambil apa? Pasti sastra Indonesia ya? Tapi bahasa Inggrismu bagus juga kok,”
“Em... sepertinya sastra indonesia.” ucapnya mantap.
***
Larut malam yang begitu dingin ditemani bintang yang menggayut manis di atas langit serta bulan penuh yang setia menemani. Aldi duduk termangu menatap selembar formulir perlombaan melukis. Ia belum mengantuk sengaja menunggu mamanya yang tak kunjung pulang. Rangga yang mendapati kakaknya belum tidur bertanya. “Kak, belum tidur?”
“Belum, nunggu Mama.”
“Sini biar aku yang gantiin. Kan besok kakak harus nganter koran pagi-pagi.”
“Udah gak apa-apa. Kamu lanjutin tidur aja sana.”
Keesokan harinya dan di hari-hari berikutnya sang mama memang tak pulang, mungkin juga tak akan pernah pulang lagi. Aldi begitu rindu pada Ibunya. Hampir setiap malam ia tidak tidur di kamarnya. Setelah meninabobokan adiknya ia menunggui ibunya di ruang depan. Berharap sang ibu datang. Tak peduli sekasar dan sekejam apa perlakuan ibu padanya ia tetap setia menunggu. Hingga setiap hari Aldi harus mencuri waktu tidur di saat jam istirahat sekolah. Sejak saat itu Nisa harus di titipkan kepada orang tua Ikaz. Orang tua Ikaz sendiri yang menginginkannya. Karena Ikaz merupakan anak tunggal yang tak punya satu saudara kandung pun.
Hari perlombaan pun tiba. Aldi tak bisa mengantar adiknya yang akan berlomba. Ia meminta Ikaz untuk mengantar Rangga ke tempat lomba melukis itu. Ia pun sengaja tak memberitahu Rangga bahwa dirinya diikutsertakan dalam lomba. Aldi ingin membuat kejutan kecil pada adiknya. Sebab ia yakin Aldi tak perlu bersusah payah mengasah kemampuannya lagi. Karena hasil lukisannya memang sangat begtiu indah. Rangga dapat menggambar sketsa secepat mungkin dan dengan hasil yang cukup bagus. Suatu kali ia pernah dipuji oleh pelukis jalanan yang menjajakan untuk membuat sketsa atau siluet. Pujian itu ia dapat saat mengikuti LDK di Bogor. Ia menggambar sketsa sebuah potret kota Bogor. Dimana di sisinya terdapat kebun raya dan hiruk pikuk pedagang kaki lima. Di saat teman-temannya sibuk tawar-menawar kepada para pedagang membawa buah tangan untuk keluarganya ia sibuk mengerjakan sketsanya. Pada saat itu Rangga menceritakan hal itu dengan penuh semangat.
Rangga begitu tekun mengerjakan lukisannya. Ia tak ingin membuat kecewa yang sudah bersusah payah untuknya. Sementara Ikaz melajukan sepedanya untuk menjemput Aldi. Belum seperempat perjalanan tampak Aldi sedang mengayuh sepedanya, ia melihat Aldi sedang mengayuh sepedanya tak begitu kencang. Kenyataan kadang memang begitu menyakitkan. Ia datang tanpa diduga menyeloroh masuk ke dalam ruang lingkup kehidupan. Yang sebelumnya bahagia senantiasa berubah menjadi penderitaan. Mungkin pula lebih pahi dari yang sebelumnya. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kencangnya menubruk sepeda Aldi hingga rusak parah dan jasadnya terbujur kaku bersimbah darah. Ikaz melihat itu semua. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang yang selama ini dikasihinya, teman bermainnnya sewaktu kecil menjemput ajalnya dengan sangat tragis. Ironis memang. Tapi itulah suatu kenyataan yang mana tak bisa diterka ataupun dihindari.
***
Kehidupan harus terus berjalan. Selang belasan tahun kemudian. Rangga dan Nisa berjalan bersama menuju pemakaman kakaknya. Nisa mengenakan sepatu hak tinggi. Sepatu itu diberikan oleh Rangga sebagai janji pada kakaknya sewaktu beliau masih hidup. Mereka membawa setangkai bunga yang cantik dan beberapa majalah. Majalah yang memuat beberapa karya cerpen Aldi. Rangga mengetik semua naskah sang kakak dan mengirimnya ke beberapa media cetak. Hasilnya sungguh memuaska. Cerpen hasil karya Aldi beserta puisi-puisinya disambut hangat dan ia mendapat bayaran atas semua itu. Kebahagiaan itu datang dengan begitu menyedihkan di saat pemilik naskah tersebut sudah tiada. Selalu ada rangkaian bunga yang lebih cantik daripada yang mereka bawa setiap tahunnya di hari sepeninggal kakaknya. Rangga tahu siapa orang yang menaruhnya. Rangga tak pernah menangis setiap kali ia ke pemakaman. Karena ia tahu hal itu hanya akan membuat sedih kakaknya disana. Ketika ia menyapukan pandangannya di pemakaman, seorang pria mengenakan jubah putih hendak meninggalkan pemakaman. Rangga melambaikan tangannya dan menyuruhnya mendekat. Mereka berjongkok di pemakaman bertiga. Ikaz memperhatikan lengan baju Nisa yang tersingkap oleh angin dan terlihat bekas luka. Ikaz menatapnya dengan heran dan Nisa mengetahui hal itu. Ia segera berlari pulang.

“Mama dulu sering menyundutnya dengan rokok bila dia nangis. Kasihan dia tumbuh dengan rasa malu. Banyak bekas luka yang terdapat di lengannya.
Gimana dengan kakak, sudah jadi dokter sekarang?”“Hmm.. Iya. Tapi seseorang yang ingin menjadi diriku seperti ini sudah tiada. Dulu sewaktu kecil Dina pernah bilang kalau ia ingin suatu hari menikah dengan seorang dokter. Meskipun itu hanya keinginan konyol anak kecil. Tapi kini aku bisa membuktikannya.” Ikaz tersenyum kecut menahan genangan air di matanya.
“Kakak gak menikah?” tanya Rangga tiba-tiba.
“Apa boleh bila adikmu aku bawa ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan bekas lukanya.” terlihat jelas Ikaz mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Lalu aku harus bayar dengan apa ? Seorang pelukis jalanan sepertiku ini mana sanggup untuk membiayai segalanya.”
“Biar kakak yang membantumu membiayai semuanya. Bukankah Dina sangat mencintai adik perempuannya? Ia sudah tumbuh begitu cantik.”
“Dia... dia bukan saudara kandung kami.” Ujar Rangga datar. “Maksudmu?” tanya Ikaz tak mengerti.
Rangga menjambak pelan rambutnya. Seperti orang yang frustasi ia menuturkan sebuah kenyataan yang begitu pahit pada pria di hadapannya. “Aku tak akan mungkin lupa kejadian hari itu.Hari itu pulang sekolah, aku melihat seorang laki-laki sedang berbuat tidak senonoh pada Ibu kami Setelah hari itu Ibu mulai muntah-muntah dan hamil. Aku menyembunyikan hal itu pada kakak. Aku gak ngerti apakah kakak mengetahui Nisa adik kandungnya atau bukan. Kejadian itu tak beberapa lama setelah Ayah meninggalkan kami. Mungkin kakak menyadarinya itu adalah hasil dari Ibu dan Ayah. Tapi mungkin juga ilmu biologi yang ia dapat di sekolah belum sampai ke bab reproduksi. Sehingga ia belum mengerti apa-apa. “
“Kamu menutupinya selama ini dan sekarang menyibak semuanya di gundukan makam Dina.”
“Ya... semuanya sudah terlambat dan tak ada yang perlu di sesali. Sekarang yang terpenting adalah menjaga Nisa dengan baik. Seperti apa yang kak Aldi lakukan dulu padanya.” Rangga berusaha bijak. Ikaz merangkul pundak Rangga. Ia tak menyangka pria yang di sebelahnya ini sudah tumbuh begitu dewasa dalam menyikapi kehidupan.
“Kak... menikahlah. Carilah wanita yang sanggup mencintaimu dengan sepenuh hati. Jangan pernah mencoba mencari sesosok wanita di bawah bayang kak Aldi. Karena hal itu tak akan pernah ada. Meskipun ia telah tiada tetapi ia tetap hidup di dalam hati kita semua. Semangatnya, kekuatannya, dan kegigihannya masih menyertai langkah kehidupan kita dalam menjalani hidup.”
Ikaz meresapi kata-kata yang terucap tulus penuh makna dari Rangga. Ia menitikkan air matanya yang sudah tak bisa lagi di bendung.Dadanya sesak dan kepalanya pening akan memori-memori yang pernah ia lalui bersama wanita yang ia cintai sedari kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar