Minggu, 09 Desember 2012

No one knows who you are...

the truth is we don't really know who we are...

apa sih yang kalian tau tentang diri kalian? even you, yourself don't know about your own personality traits. Lately I'm seeking everyhing regarding about psychology. Ngomong-ngomong tentang psikologi, lupa deh kapan punya cita-cita jadi psikatris. Hahaa. Too many dreams, too many desires, want to be this, and want to be that.
Regarding my thesis related about psychoanalytic. I'd like to share something here...

Before I begin, lemme thank to the people who wake up my mind about this (psychology) the most importantly, Ms. Ruiss tercintahhhh dan Mam Indrani terkasihhh <3 comment-3--="">
Hahaa. My fellas who don't stop supporting me, Indra-Danang... Indra gave a full synopsis in detail, told me about what is the story about... and Danang always accompanies me around whenever I  ask to the lecturer. The awkward moment is when we pursuing Ms. Ruisah until she went down the elevator till the front of office >___^

(Ini high-pitched nya Changmin di Humanoids echoing banget. OMG!!)
Hahaa.. saya sedang mendengarkan Humanoidss... "Cause we are Humanoids............"

Currently, I'm having a thought that I'm such a boring person..
Probably it's just a thought about my surrounding one by one are leaving me behind. I feel like um, I'm not worth or something like that. And they come to me when they need something. OKAY, I gotta admit it is just a NEGATIVE thought! I think devil is whispering my ear and obsessing my mind. However, it seems OBVIOUS. We will never have such a thought if there's no something suspicious, right?

I miss being a little kid with no stress, worries, or care in the world.


PSIKOLOGI KEPRIBADIAN
Tulisan yang terbatas ini hanya memuat beberapa pembahasan mengenai aspek-aspek kejiwaan dalam pribadi seseorang yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari atau dalam latihan-latihan, karena latihan yang kita laksanakan berhubungan dengan manusia sebagai objek dengan membawa berbagai karakter, tipe kepribadian dan temperamen.

A.     Perasaan

Kerap kali kita melihat orang tampak gembira atau sedih. Gembira atau sedih ini adalah pernyataan-pernyataan perasaan. Perasaan itu menyatakan sesuatu tentang keadaan jiwa pada suatu saat. Ada rasa “suka dan tidak suka”.
Rasa suka adalah rasa yang menyenangkan : enak, ketenangan, keindahan, lezat, kebahagiaan dan sebagainya.  Rasa tidak suka adalah rasa yang tidak enak, tidak menyenangkan, dukacita, takut, khawatir, gelisah, kesedihan, kacau dan sebagainya.
Perasaan itu selalu bersifat perseorangan, selalu bersama-sama dengan gejala-gejala jiwa lainnya, seperti teringat sesuatu, frustasi, kecewa, bahagia dan lain lain. Perasaan biasanya menyatakan diri dengan tingkah laku dan dapat diselidiki dengan jalan ekstrospeksi dan introspeksi. Perasaan ada yang bersifat biologis dan rohaniyah. Perasaan biologis meliputi perasaan yang berhubungan dengan fungsi hidup jasmaniah (lapar, haus, letih, lesu dan lain-lain).
Perasaan rohaniyah meliputi ; perasaan intelek yang menyertai pekerjaan intelektual, perasaan estetis yang berhubungan dengan keindahan (termasuk hal-hal yang lucu), perasan etis yang berhubungan dengan perbuatan baik dan buruk, perasaan keagamaan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dimana kita ingat kepada Tuhan, perasan diri yang menyertai gambaran kita sendiri (positif dan negatif ; kompleks inferior/superior), perasaan sosial dalam hubungan kita dengan orang lain.
B.     Prasangka

Prasangka adalah predisposisi untuk memberikan penilaian yang diskriminatif terhadap pribadi atau kelompok tertentu. Menurut analisis transaksional, hal ini terjadi karena cara hidup yang kita peroleh dari pengalaman sejak kecil atau masa lalu menjadikan kita tidak dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas.
Kita mempunyai harapan-harapan tertentu tentang orang lain –seringkali harapan yang bersifat negatif--, karena perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, agama atau perbedaan kelompok. Harapan-harapan demikian seringkali tidak diajarkan terus terang pada kita, tetapi diangkat dari pengamatan kita terhadap prasangka mereka yang berpengaruh pada masa kecil kita.
Ketika saya melakukan/memimpin sebuah pelatihan (Up-grading), seorang peserta wanita meminta waktu untuk berbicara dengan saya pada hari ke 2. Ia kelihatan sangat kikuk dan mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Saya memberikan dorongan dan akhirnya ia mengatakan “saya merasa sangat malu ! ketika pertama kali anda masuk ruangan untuk memberikan materi, saya agak jengkel”. “Bayangkan, ketika saya memutuskan untuk ikut acara ini, saya akan dipimpin oleh seorang yang pemarah”, “akan tetapi saya merasa tertipu oleh prasangka saya, dan kini harus saya katakan kepada anda, bahwa anda adalah orang yang ramah dan suka humor dan materi yang anda berikan sangat berguna bagi saya”, “saya sangat malu karena waktu itu langsung mengira bahwa saya akan “ketakutan” dan tidak akan mendapatkan materi yang berguna, karena anda terlihat seperti seorang yang galak”.
Peserta wanita tersebut telah mempunyai prasangka yang bukan-bukan, tapi ia tidak bersikeras dengan prasangkanya, sehingga ia masih dapat berubah pandangan. Sayang sekali pada beberapa kasus, ada orang yang demikian kuat prasangkanya, sehingga tidak dapat mengubahnya, karena prasangka dapat mendistorsi persepsi kita tentang realita, maka prasangka merupakan hambatan yang besar dalam komunikasikita dengan orang lain. Menyadari prasangka kita sendiri biasanya sulit, karena kita selalu yakin akan kebenaran prasangka itu.
Adakalanya prasangka mampu membuat seseorang yang kurang percaya diri merasa lebih baik. Prasangka dapat membuat orang memandang rendah orang lain. Sesungguhnya hal demikian justru mempersulit upaya mengenali dan menghilangkan prasangka. Orang yang sangat dikuasai prasangka biasanya selalu merasa tidak aman dan bersifat kaku.
Mereka selalu mencoba mengatasi keraguan dan ketakutan mereka dengan merendahkan orang lain, melemparkan kesalahan pada orang lain, dan menganut faham yang dogmatis. Menyadari sifatnya tersebut, membuat kita tidak mudah marah terhadapnya. Orang yang demikian tidak akan menjadi baik bila dihadapi dengan sikap yang keras dan menuntut ; sebaiknya, mereka membutuhkan rasa aman dan tenang, sebelum mampu menghilangkan sikapnya yang kurang baik.
C.     Delusi

Delusi merupakan keyakinan semu yang sesungguhnya tidak benar, dan tidak dapat dikoreksi dengan pikiran sehat. Terdapat perbedaan antara delusi dengan kekeliruan yang adakalanya kita lakukan dalam menanggapi fakta-fakta, karena delusi ditimbulkan oleh berbagai perasaan negatif. Timbul delusi bila perasaan yang kuat mewarnai persepsi kita tentang dunia, diri kita atau orang lain. Mungkin kita masih ingat bagaimana seseorang merasa bahwa orang-orang menilai dirinya secara negatif.
Delusi menyudutkan kita untuk melakukan tindakan yang mengacaukan situasi. Kita bertindak berdasarkan persepsi salah yang membuat kita membayangkan respons negatif dari orang lain, karena itu mungkin sekali kita justru mendapat reaksi seperti yang dibayangkan sehingga menguatkan rasa takut kita.
D.    Atribusi

Kita semua mencoba memahami pengalaman-pengalaman kita, kemudian berupaya agar pengalaman-pengalaman tersebut bermakna, dan menafsirkannya. Atribusi, beberapa alasan yang kita gunakan untuk menerangkan pengalaman-pengalaman kita biasanya mengacu pada beberapa ciri khusus seseorang (dari kita sendiri dan orang lain) atau pada keadaan sekitarnya. Atribusi yang kita miliki membantu pembentukan khayalan kita yang terarah.
Tina mempunyai berat badan yang berlebihan. Ia takut orang tidak menyukainya, oleh karena itu ia menghindari pertemuan-pertemuan di masyarakat. Ia mengkambinghitamkan kegemukannya sebagai penyebab kesulitan-kesulitannya. Bila ia tidak mengurangi berat badannya, ia akan terus saja berkeyakinan bahwa semua masalah yang diambilnya dapat teratasi bila berat badannya turun.
E.     Disonansi Kognitif

Adakalanya pemahaman kita terganggu, sehingga menyulitkan kita. Kita juga merasakan disonansi kognitif bila sikap dan tingkah laku kita tidak serasi. Disonansi kognitif terjadi bila kehidupan psikologis kita tidak harmonis.
Eman adalah seorang perokok berat, ketika bermunculan himbauan-himbauan tentang bahaya merokok bagi kesehatan, ia selalu mengatakan akan berhenti merokok. Tetapi kenyataannya tidak, dan ia tidak lagi berbicara tentang rencana menghentikan kebiasaan tersebut. Tampaknya ia tetap menikmati kebiasaan merokoknya. Suatu saat bila ia didesak tentang hal itu, iapun mengatakan bahwa ia sesungguhnya tahu dan harus berhenti merokok, tapi hidupnya kini sangat tertekan, sehingga ia tidakdapat berhenti merokok sekarang ini.
Ini menunjukkan bagaimana terjadinya disonansi kognitif. Keadaan tersebut bagi kita sesungguhnya tidak enak. Bila terjadi disonansi, ada sesuatu yang harus dilepas, atau ada ketidaksesuaian antara suatu keyakinan dengan keyakinan-keyakinan atau sikap yang penting. Bersikeras mempertahankan kedua-duanya, akan terasa sangat menyiksa. Pikiran Eman yang pertama adalah berhenti merokok, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Kemudian ia mengabaikan peringatan tentang kesehatan (menganggap bahwa peringatan tersebut bukan ditujukan kepadanya) dan ia dapat terus merokok dengan santai. Ketika ia diberitahu untuk memperhatikan peringatan-peringatan ini, ia meyakinkan dirinya bahwa nanti ia akan berhenti merokok, ia menggunakan beberapa cara disonansi kognitif untuk mengatakan hal itu.
Dua cara lain untuk menghadapi disonansi adalah dengan reaksi “anggur yang masam” dan “Jeruk yang manis”. Kita mencoba meyakinkan diri bahwa sebenarnya kita tidak menginginkan apa yang tidak dapat kita peroleh, atau bahwa kita menyenangi sesuatu yang tidak kita kehendaki tetapi kita tidak dapat melepaskannya. Kita juga dapat mengatasinya dengan mengusahakan persesuaian pendapat tentang keyakinan tertentu yang penting untuk memperkuat keyakinan kita yang kurang kokoh.
F.      Gaya Interpersonal

Gaya interpersonal berkaitan dengan cara kita memperlakukan orang lain dan perlakuan orang lain terhadap diri kita sesuai dengan yang kita harapkan. Orang dewasa seperti halnya anak-anak, berbeda caranya berkomunikasi dengan orang lain. Ada orang yang hanya sedikit memberikan andil bagi orang lain, tetapi banyak sekali yang mengharapkan dari andil orang lain. Ada orang yang memanfaatkan kemarahan yang meluap-luap untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan atau membisu atau menarik diri bila keadaan dirasakannya tidak menyenangkan. Ada pula yang mencoba mempermainkan atau “memanfaatkan” orang lain dan adapula yang sangat menghargai orang lain dan memperlakukannya sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Seperti halnya gaya moral, kita mengikuti suatu cara tertentu dalam menuju kematangan hubungan pergaulan.
G.    Tahap Impulsif

Tina mempertimbangkan masalah-masalah moral hanya pada saat-saat ia menemui kesulitan. Tampaknya ia tidak mengerti bahwa orang membutuhkan peraturan-peraturan mengenai perilaku dalam kehidupan  bersama. Baginya, suatu perbuatan yang tercela hanyalah perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, Tina hidup menurut impulsnya ; adakalanya ia mabuk-mabukan dan termasuk orang yang “bermurah hati” dalam kehidupan seksual.
Bila mengalami frustasi atau marah, Tina suka mengamuk. Ia memandang orang lain sebagai sumber masukan, dan menilai diri mereka dari seberapa banyak bantuan orang tersebut kepadanya. Dalam pandangannya yang terpusat pada diri sendiri itu, ia mengabaikan perasaan dan keinginan orang lain. Bila masalah interpersonal menjadi terlalu sulit, ia akan dengan serta merta melarikan diri dari keadaan, tidak berusaha memperbaiki dan mencarikan solusi dari permasalahan yang muncul tapi bahkan mengakhiri suatu hubungan interpersonal.
Tina melewatkan sebagian besar waktunya untuk berfikir tentang apa yang ia inginkan dan apa yang dirasa ingin dilakukannya. Bila hal itu tidak menyenangkan, ia menjadi bosan dan berusaha mencari kesenangan. Ia memandang tanggung jawab sebagai bebormal"> 


As a conclusion,  mungkin itu hanyalah prasangka saja yang mendorong sehingga mengakibatkan segala emosional dan anxiety yang ada muncul dan terjadi ke dalam realita. Aneh, ya... saya sendiri yang mempunyai masalah tentang kejiwaan tapi saya menterapi dan mencoba mensugesti diri saya sendiri agar tidak lagi memikirkan hal-hal yang tidak begitu principal, berusaha untuk memiliki pikiran yang positif dan lebih dewasa dan lebih menghargai dan mencintai orang-orang di sekitar saya. um, love y'all! 

Awalnya gak tahu kalau disonansi kognitif itu mengambil contoh orang yang heavy smoker. It reminds me of someone who promise to quit smoke bit by bit. I think it's difficult for him to quit something that already being habit. I don't want to force him. So, just let him realize that smoke is unhealthy, harmful for his body, and it is only burning money. The most importantly, all we can do just let him be and accept him for who he is...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar